Through His Eyes

26 9 3
                                    

Pagi itu, Cay terbangun dengan perasaan aneh. Sinar matahari sudah mulai masuk melalui celah gorden, tapi suasana kamar masih gelap dan hening. Cay meraba-raba ruang di sebelahnya, dan yang dirasakannya hanyalah kasur kosong. Runa sudah nggak ada di sampingnya.

Cay mengerjapkan matanya, perlahan bangun, dan mendapati Runa sedang mengendap-endap di sudut kamar, terlihat mencari-cari sesuatu. Tangannya meraba-raba meja kecil di dekat TV. Gadis itu terlihat sangat hati-hati, seperti nggak ingin menggangu, tapi jelas terlambat—Cay sudah bangun.

"Run?" suara Cay terdengar serak karena baru bangun tidur.

Runa tersentak, terlihat kaget dan sedikit panik. Gadis itu berbalik cepat, ekspresinya seperti anak kecil yang ketahuan sedang berbuat sesuatu yang dilarang mamanya. "Eh, udah bangun, Cay?" tanyanya gugup.

Cay mengangguk lalu duduk di kasur. "Lo nyari apa? Hape?"

Runa menggeleng cepat. "Nggak... gue, tuh... mau balik ke kamar... Kesiangan nggak, sih, kalau mau sarapan?" suaranya terdengar panik dan buru-buru, matannya kini menemukan letak ponselnya yang ternyata ada di atas nakas sebelah Cay. Runa segera bergerak mendekat ke sana lalu meraih benda itu.

Cay sedikit bingung melihat sikap Runa yang canggung. Semalam mereka begitu dekat—cenderung intim. Tapi pagi ini, Runa berbeda. Terburu-buru, seperti ingin terbebas dari sesuatu. Tapi Cay tetap berusaha biasa saja. "Masih sempat kok, sampai jam setengah sebelas. Kalau gitu balik deh siap-siap sarapan, gue juga mau siap-siap. Ketemu di resto?"

Runa mengangguk tanpa pikir panjang, tersenyum tipis. "Oke. ketemu di resto. Gue balik duluan, ya."

Cay hanya membalas dengan anggukan, dan dalam hitungan detik, Runa sudah keluar dari kamar, menutup pintu di belakangnya. Gadis itu meninggalkan Cay yang masih duduk di tepi kasur, merasa ada yang ganjil tapi belum bisa point out hal apa.

Satu jam kemudian, Cay sudah siap dan berjalan menuju restoran hotel. Perutnya mulai terasa lapar, dan dia menantikan momen sarapan bersama Runa. Restoran hotel Plataran Bromo tampak nyaman pagi itu. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, meja-meja sudah dipenuhi oleh tamu lain yang juga sedang sarapan.

Cay duduk di sudut ruangan, matanya sesekali melirik ke arah pintu masuk, menunggu kedatangan Runa. Setiap kali ada tamu yang masuk, Cay berharap melihat Runa muncul dengan senyum khas dan gaya santainya. Tapi, menit demi menit berlalu, dan Runa belum juga datang.

Setelah hampir setengah jam menunggu, Cay mulai merasa ada yang aneh. Restoran sudah mulai sepi dan waktu sarapan hampir habis. Cay mencoba menelepon Runa, tapi nggak ada jawaban. Nada sambung di ponselnya terus berbunyi tanpa diangkat, membuat lelaki itu semakin cemas.

"Lagi ngapain coba itu anak?" pikirnya. Apa dia tidur lagi gara-gara kecapekan? Cay mencoba positif.

Setelah menunggu lebih lama lagi tanpa tanda-tanda kedatangan Runa, Cay akhirnya memutuskan untuk pergi menyambangi kamar gadis itu, Cay khawatir takut terjadi apa-apa. Dia berjalan cepat menuju kamar Runa, pikirannya mulai dipenuhi dengan berbagai kemungkinan.

Sampai di depan kamar Runa, Cay langsung tahu ada sesuatu yang salah. Pintu kamar Runa terbuka sedikit, dan trolley housekeeping ada di depannya. Dia menyelonong masuk dan mendapati dua pegawai hotel sedang membersihkan kamar Runa. Kamar itu sudah rapi. Tempat tidur sudah dibenahi dengan sempurna, bantal-bantal tertata rapi, dan nggak ada satu pun barang milik Runa yang tersisa. Semuanya sudah rapi, seperti nggak pernah ada orang yang menginap di sana.

"Selamat pagi, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" sapa salah seorang dari mereka.

"Tamu kamar ini udah check out?" tanya Cay.

"Betul, Pak."

"Ada yang tahu kapan?" Cay mulai panik.

"Mohon maaf Bapak, kami kurang tahu, kamar sudah kosong tadi saat kami sampai."

"Oke, makasih." Panik, Cay keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju resepsionis. Pikirannya kalut—Runa nggak ada di restoran, kamarnya sudah kosong, dan barang-barangnya juga nggak ada. Sambil berjalan, Cay terus mencoba menelepon Runa, tapi tetap nggak ada jawaban.

Sampai di resepsionis, Cay langsung mendekati staf yang bertugas. "Sorry, Mbak... tamu yang ada di kamar 2036 atas nama Aruna udah check-out, ya?" tanyanya, nada suaranya sedikit terburu-buru.

Resepsionis mengangguk sopan. "Betul, Pak. Ibu Aruna tadi sudah check-out. Maaf, Bapak dari kamar nomor berapa?"

Cay merasa dadanya sesak. "Udah lama? Naik apa dia?"

Resepsionis tersenyum, tapi menggeleng. "Maaf, kami tidak bisa memberikan informasi tamu ya, Pak, karena alasan privasi."

Cay terdiam sejenak, berusaha mencerna apa yang barusan didengarnya. Runa sudah pergi. Nggak pakai pamit, nggak pakai titip pesan, nggak pula menjawab teleponnya. Cay bahkan nggak tahu apa Runa sudah kembali ke Jakarta, atau masih di sekitar Banyuwangi.

Dan yang paling membuatnya frustrasi adalah... mereka belum sempat membicarakan apapun soal mereka, soal yang terjadi kemarin, atau yang akan terjadi ke depannya.

Pikiran Cay mulai sibuk dengan berbagai kemungkinan. Apakah Runa pergi karena kecewa? Apakah Cay salah melakukan sesuatu? Pagi tadi, Gadis itu memang terlihat sedikit canggung, tapi secara umum, Runa memang tipe orang yang cukup canggung. Tadi mereka berpisah dengan janji akan sarapan bersama, dan semalam, segalanya terasa hangat dan dekat. Tapi sekarang, Cay kebingungan dan merasa seperti baru dikhianati.

Cay mencoba menganalisis situasi. Mungkin sikapnya selama ini nggak terlalu jelas dan membuat Runa jengkel? Atau, sebaliknya, mungkin Cay terlalu menekan dengan kedekatan mereka, hingga membuat Runa merasa terdesak dan mundur perlahan? Lelaki itu terus memikirkan berbagai alasan kenapa Runa pergi tiba-tiba seperti ini.

Apakah Runa sebenarnya nggak ingin ada hubungan lebih? Apakah Runa hanya ingin sesuatu yang casual, dan Cay malah membuatnya terlalu intens? Semua pikiran itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya semakin gusar.

Cay meraih ponselnya lagi, berniat untuk menghubungi Runa sekali lagi. Tapi kali ini, jari-jarinya berakhir mengambang, dia pikir kalau Runa pergi nggak pakai penjelasan apa-apa, mungkin itu adalah caranya untuk bilang kalau gadis itu nggak ingin punya urusan lagi dengan Cay.

Kalau memang dia nggak mau gue hubungin lagi, gue harus ngerti, pikir Cay. Cay sadar bahwa memaksa untuk mendapatkan penjelasan dari Runa mungkin hanya akan memperburuk situasi. Runa jelas-jelas memilih untuk pergi tanpa memberitahu, dan itu berarti Cay harus menghormati keputusannya.

Tapi tetap saja, perasaan itu berat. Semalam semuanya terasa begitu baik, begitu dekat. Dan pagi ini yang terjadi sama sekali nggak sama.

Cay berdiri di lobi hotel, ponselnya masih di tangan, tapi sekarang tanpa niat untuk menghubungi Runa lagi. Dia tahu, apapun yang terjadi setelah ini, dia harus membiarkan Runa membuat pilihannya. Bahkan kalau itu berarti mereka nggak akan bertemu lagi selamanya.

_______

Twinkle, Twinkle, Little SparksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang