Unfinished Business

60 10 12
                                    

Dering ponsel Runa terdengar di saat gadis itu sedang sibuk memarkir mobilnya. Tanpa melihat layar, dia tahu siapa yang menelepon—Wanda. Hari ini belum ada pesan atau suara ribut Wanda yang mengganggu Runa, padahal merecoki Runa selalu ada di jadwalnya sehari-hari.

"Happy second anniversary, Nda!" Runa menyapa riang sambil mengangkat rem tangan, mobilnya sekarang terparkir rapi. Sudah dua tahun sejak pernikahan spektakuler sahabatnya itu, sebenarnya Runa sudah berniat untuk menghubunginya duluan, but Runa is just being Runa.

Di seberang telepon, Wanda terdengar tertawa senang. "Thanks, Runaaa! Eh, anyway, gimana, gimana? Today hari pertama ngampus, kan?"

"Iya nih, gue baru aja sampai."

"Seru pasti kelas weekend, tuh, isinya banyak yang seumuran kita dan kece-kece juga. Enjoy while it lasts, Run!"

Runa mendengus, "tujuan gue kuliah lagi bukan itu kali, Nda! Gue itu—"

"—nggak tahu mau cari apa lagi makanya akhirnya sekolah," ejek Wanda seolah kata-kata ini sering keluar dari mulut Runa. "Soalnya udah berhasil depak gue jadi manager duluan, jadi nyari-nyari tantangan lain."

Runa tertawa kecil, "itu tahu!"

"Nyebelin."

"Kalo gue wajar masih nyari-nyari tujuan lagi, lah kalo lo mau cari apa lagi coba, Nda? Bapak lo udah tajir, laki lo sekeluarga-keluarganya juga. Sebentar lagi mau liburan a la orang kaya di Seychelles. Jadi manager di perusahaan konsultan mah harusnya nggak ada di bucket list lo. Gue jadi lo sih bucket list gue isinya nailing Sirsa Padasana, beli Birkin langsung di butik, bikin charity event bareng high-end local brand—"

"Lo ini bikin gue kedengaran kayak anak cakep otak kosong!"

"I'll be anak cakep otak kosong if I were you, capek tahu keseringan mikir."

"Then be me!" Wanda tertawa keras dengan nada menyebalkan.

Runa tersenyum mengingat gimana hubungan mereka berkembang dalam dua tahun terakhir. Setelah kejadian rehearsal dinner tempo hari—saat Runa berada di samping Wanda yang panik—hubungan mereka berubah menjadi lebih dekat. Mereka benar-benar saling memahami, saling membutuhkan. Wanda yang dulunya terasa jauh dan ribet, sekarang adalah sahabat yang paling akrab dengan Runa—walaupun tentu aja masih juga ribet.

Percakapan tentang pekerjaan, hubungan, bahkan topik receh dan meme-meme populer jadi bumbu dalam persahabatan mereka. Runa sadar Wanda sebenarnya orang yang hangat dan peduli, begitu pun Wanda yang sebenarnya butuh seseorang yang memahami dirinya. Hal-hal itu yang mereka bisa lengkapi satu sama lain. Runa akhirnya berani membawa orang lain masuk ke hidupnya, curhatnya kini nggak cuma cerita one-way ke Sashi—oh, of course she still texts her sister. Sampai kapanpun.

Setelah mereka saling mengucapkan selamat tinggal, Runa bergegas keluar mobil dan berjalan cepat menuju auditorium tempat nanti kelasnya berlangsung. Karena Runa ambil kelas akhir minggu, waktu belajarnya jadi cukup panjang, dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Runa tahu betul kepalanya akan berasap waktu pulang nanti, tapi benar kata Wanda, she needs to enjoy it while it lasts. Kapan lagi kutu kasur seperti Runa bisa beredar di luar setiap akhir minggu kalau bukan buat ke kampus?

Sampai di auditorium, Runa melihat beberapa wajah yang sudah dikenalnya dari acara pembukaan tahun ajaran baru minggu lalu. Salah satu kenalannya, Mayra, melambaikan tangan dari kejauhan.

"Aruna! Sini duduk bareng gue!" seru Mayra.

Runa tersenyum lebar dan berjalan menghampiri. "Udah lama banget gue nggak bangun pagi hari sabtu, gila!"

Twinkle, Twinkle, Little SparksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang