Hampa didalam senyuman

18 2 0
                                    

Almeira Park duduk di sofa besar di ruang tamu rumahnya yang elegan, menatap pemandangan kota Seoul dari jendela besar. Hujan rintik-rintik jatuh di luar, menambah kesedihan yang mengendap di dalam hatinya. Perutnya yang membesar memberikan sinyal kehadiran hidup baru, tetapi itu tidak bisa menghapus rasa hampa yang menyelimuti jiwa.

Evan Lee, suaminya, adalah sosok yang selalu diidamkan banyak orang. Dengan kekayaan dan ketampanan yang dimilikinya, tak jarang wanita tergila-gila padanya. Namun, di balik semua itu, Almeira merasa terasing. Setiap kali Evan pulang larut malam, ia kembali dengan aroma parfum asing dan jejak lipstick di jasnya. Almeira tahu bahwa suaminya berselingkuh, tetapi ia memilih untuk berpura-pura tidak tahu.

“Aku tidak ingin anak ini lahir dalam keadaan patah hati,” gumam Almeira kepada dirinya sendiri, meraba perutnya.

Hari itu, suasana hati Almeira semakin mendung saat ia menerima pesan dari Evan.

“Maaf Aku Pulang larut. Ada meeting penting”

Satu kalimat yang selalu sama, seolah menghilangkan keberadaan Almeira dari hidupnya. Ia menghela napas, meraih buku harian dan menulis.

“Hari ini adalah hari ke-182 aku hamil. Hari-hari seakan semakin berat. Rasanya seperti terjebak dalam sebuah labirin tanpa jalan keluar. Jika bukan karena anak ini, aku pasti sudah pergi.”

Dengan lembut, Almeira menyentuh perutnya yang semakin besar. Dia merasa anaknya adalah satu-satunya pengingat akan cinta yang pernah ada antara mereka. Namun, semakin lama, cinta itu terasa semakin pudar, tergantikan oleh kesepian dan rasa sakit.

Ketika hujan semakin deras, Almeira memutuskan untuk memasak makan malam untuk Evan. Walaupun hatinya berat, ia berusaha memberikan yang terbaik. Di dapur, aroma masakan menyebar di seluruh rumah, tetapi tidak ada yang datang untuk menikmatinya.

Waktu berlalu, dan malam semakin larut. Almeira menunggu, menanti sosok yang selalu ia cintai—Evan. Namun, rasa sabar itu terus menerus diuji, dan ketidakpastian membuatnya semakin gelisah.

Akhirnya, suara kunci yang bergetar di pintu mengganggu kesunyian malam. Almeira langsung berdiri dan berlari ke arah pintu, berharap melihat senyuman Evan. Namun, saat pintu terbuka, sosok yang ada di hadapannya tampak lelah dan acak-acakan, jauh dari sosok yang biasanya tampak rapi dan percaya diri.

“Evan,” panggilnya, berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatinya.

Evan hanya mengangguk sambil melemparkan jasnya ke sofa. Saat ia bergerak melewati Almeira, aroma parfum asing kembali menyengat hidungnya, mengingatkan pada kecurigaan yang tak pernah terucapkan.

“Aku sudah menyiapkan makan malam,” kata Almeira, berusaha tersenyum.

Evan hanya menggeleng. “Aku sudah makan di luar. Terlalu larut untuk makan malam.”

Sebuah palu menghantam hati Almeira, tetapi ia berusaha tetap tenang. “Baiklah, aku akan menyimpannya untuk besok.”

Almeira tahu bahwa pertanyaannya tidak akan dijawab. Evan terlalu terjebak dalam dunianya sendiri.

Dengan putus asa, Almeira kembali ke dapur, menyimpan makanan yang telah disiapkannya. Saat itulah, rasa sakit yang selama ini ia pendam mulai menggerogoti jiwa. Ia merindukan cinta, kasih sayang, dan perhatian dari suaminya, yang kini semakin menjauh.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Almeira kembali ke ruang tamu, tempat Evan duduk sambil menatap layar ponselnya. Dengan penuh rasa cemas, Almeira memutuskan untuk berbicara.

“Evan, kita perlu bicara tentang kita,” ujarnya, suaranya bergetar.

Evan menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan kembali ke ponselnya. “Nanti saja. Aku lelah.”

cinta yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang