Di Ujung Keterpurukan

9 1 0
                                    

Alarm di NICU masih berbunyi kencang, membuat suasana semakin mencekam. Para dokter bekerja cepat, melakukan intubasi ulang pada Arsha, sementara Almeira dan Evan hanya bisa menyaksikan dari balik kaca, rasa cemas semakin menghimpit mereka berdua. Wajah Almeira pucat, matanya masih dipenuhi air mata yang tak berhenti mengalir.

"Tolong, Tuhan... Selamatkan dia," bisik Almeira dengan suara gemetar, menggenggam tangan Evan sekuat tenaga.

Evan memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Namun di balik ketakutannya untuk Arsha, pikiran tentang Chloe terus menghantui. Tekanan yang ia rasakan semakin membuatnya terpuruk-bagaimana mungkin dia bisa menyakiti keluarganya di saat seperti ini? Bagaimana mungkin dia membiarkan kebohongan itu terus membayangi setiap langkahnya?

Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar. Chloe lagi.

"Aku sudah muak menunggu, Evan. Jika kamu tidak segera memberitahu Almeira, aku akan datang ke rumah sakit dan memberitahunya sendiri. Aku tidak akan terus dibohongi."

Evan merasakan perutnya mengerut tajam. Ini adalah ancaman terakhir. Chloe tidak main-main. Jika dia tidak bertindak sekarang, rahasianya akan terbongkar dengan cara yang jauh lebih buruk. Tapi bagaimana mungkin dia bisa memberitahu Almeira sekarang, di saat Arsha sedang berjuang untuk hidup?

Perlahan, Evan menghapus pesan Chloe dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Dia memutuskan bahwa saat ini, fokus utamanya adalah menyelamatkan putranya dan mendampingi Almeira. Meski itu berarti menunda kejujuran yang harus dia ungkapkan.

Setelah beberapa waktu yang terasa seperti seumur hidup, salah satu dokter keluar dari ruang NICU dengan ekspresi serius. Evan dan Almeira segera menghampiri.

"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Evan dengan suara pelan, seolah takut mendengar jawabannya.

"Kami berhasil melakukan intubasi ulang, dan untuk saat ini, kondisinya stabil. Namun, Arsha masih berada dalam kondisi yang sangat kritis. Kami akan terus memantau perkembangannya secara ketat selama beberapa jam ke depan," jawab dokter itu.

Mendengar kata "stabil" membuat Almeira sedikit lega, meskipun rasa khawatirnya belum sepenuhnya hilang. "Terima kasih, Dokter," ucapnya lemah, menoleh pada Evan, mencari dukungan di wajah suaminya.

Evan mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya hancur. "Kita akan melewati ini, Almeira. Arsha kuat. Dia akan bertahan."

Namun, di dalam hatinya, Evan tahu bahwa ancaman dari Chloe bisa menghancurkan segalanya kapan saja. Kebohongan yang ia pertahankan semakin membuatnya merasa terjebak, dan dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa menahannya.

Beberapa jam berlalu dalam keheningan penuh ketegangan. Almeira tidak beranjak dari sisi inkubator Arsha, berharap dan berdoa agar anak mereka bisa melewati masa kritis ini. Evan berdiri di sampingnya, terus memikirkan apa yang harus ia lakukan.

Akhirnya, Evan tidak bisa lagi menahan beban yang menghimpitnya. "Almeira..." panggilnya pelan.

Almeira menoleh, wajahnya penuh kelelahan dan kesedihan. "Ada apa, Evan?"

"Ada sesuatu yang harus aku ceritakan padamu. Sesuatu yang mungkin akan membuatmu sangat marah, tapi aku tidak bisa menyimpan ini lebih lama lagi." Evan menarik napas panjang, berusaha menemukan kekuatan untuk mengungkapkan kebenaran.

Mata Almeira membulat, rasa cemasnya semakin dalam. "Apa maksudmu? Apa yang kamu sembunyikan?"

Evan menggigit bibirnya, dan sebelum dia sempat melanjutkan, pintu NICU tiba-tiba terbuka, dan Chloe masuk dengan wajah penuh tekad. "Aku yang akan memberitahunya," kata Chloe dingin, menatap Almeira.

cinta yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang