PROLOG

0 0 0
                                    


***

Di sudut lapangan sekolah, Eca berdiri sendirian, menyaksikan teman-temannya berlarian dan tertawa, seolah dunia di sekitarnya hanyalah panggung kebahagiaan. Suara keceriaan itu bagaikan badai yang menerjang hatinya, menghancurkan harapan untuk bisa menjadi bagian dari mereka. Rina dan Ardi, dua penggoda utama di kelas, tampak mengincar, siap melontarkan serangan yang sudah biasa mereka lakukan.

“Eca! Mana orang tuamu? Kenapa mereka tidak pernah datang ke sekolah? Jangan-jangan kamu hanya berbohong!” Rina berseru dengan nada ejekan, suaranya menusuk seperti jarum. Teman-teman di sekelilingnya tertawa, menciptakan suasana yang semakin menyesakkan.

Eca menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Mereka… mereka sibuk,” ucapnya pelan, tapi suaranya hampir tak terdengar di tengah tawa yang menggema. Setiap kata terasa seperti belati yang menghujam lebih dalam ke hatinya.

“Pasti kamu tidak punya orang tua! Cuma anak bohong!” Ardi menambahkan, tawa mereka semakin keras. Eca merasakan tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena rasa sakit yang teramat dalam. Kenangan tentang momen-momen sepi saat orang tuanya tak pernah hadir untuk rapor atau acara sekolah melintas di benaknya.

“Coba lihat! Setiap kali ada acara, kamu selalu sendirian! Pasti kamu tidak penting buat mereka!” Rina melanjutkan, sinis dan penuh cibiran.

Eca menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. “Mereka kerja keras…” ucapnya, tetapi kata-katanya tersendat. Dalam hati, dia berdoa agar ada yang mengerti, tetapi tak ada satu pun yang peduli.

“Kerja? Kerja apa? Kerja untuk melupakan anak mereka sendiri?” tanya Rina, suaranya menyengat. “Jangan-jangan mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan pekerjaan daripada mengurusmu!”

Di antara kerumunan, Eca merasa semakin terasing. Setiap kalimat yang dilontarkan seperti batu besar yang menghimpit dadanya. Tidak ada yang mau mendengarkan, tidak ada yang peduli tentang siapa dirinya. Dia ingin berteriak, tetapi suara itu hanya terjebak di tenggorokan, tertahan oleh rasa sakit dan keputusasaan.

“Kalau kamu merasa tidak punya orang tua, kenapa tidak bilang dari awal? Kamu bisa jadi bintang di acara ‘Anak Yatim Piatu Terbaik’!” Ardi melanjutkan dengan tawa yang menohok, seakan mengolok-olok kehadirannya di antara mereka.

Eca menahan napas, berusaha menahan air mata. “Kalian tidak tahu apa-apa tentang aku!” ujarnya, tetapi suaranya nyaris tidak terdengar. Dalam hatinya, ia merindukan dukungan, merindukan kehadiran yang selalu ia impikan.

“Ya, kami tidak tahu, dan kami tidak mau tahu!” Rina berteriak, seolah-olah Eca adalah sesuatu yang memalukan. “Jangan sekali-kali berpikir kami mau dekat denganmu!”

Semua tawa dan ejekan itu membuat Eca merasa seperti hantu yang tidak memiliki tempat di dunia ini. Hatinya hancur, setiap kata yang mereka ucapkan menciptakan jurang yang lebih dalam di antara mereka. Di dalam benaknya, ia teringat setiap malam ketika ia pulang ke rumah, sendirian, menunggu kehadiran orang tua yang tidak pernah datang.

Dalam kebisingan dan cemoohan itu, Eca berharap, dalam kesunyian hatinya, bahwa suatu hari nanti, orang-orang di sekelilingnya bisa memahami cerita di balik senyum yang dipaksakan dan mata yang selalu menatap kosong. Dia ingin menemukan tempat di mana dia bisa merasa diterima, di mana kehadirannya tidak dianggap remeh. Dalam dunia yang keras dan dingin ini, semua yang ia inginkan hanyalah sedikit cinta, sedikit perhatian, dan pengakuan bahwa dia ada.



⊱⩽💍⊱┈ׅ───ׄ┈⃘꯭♡⃘꯭┈ׄ───ׅ┈⊰💍⩾⊰

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LOVE BY THE SEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang