Keesokan harinya, Nandru mengenakan baju putih yang rapi, memancarkan kesan bersih dan segar, sementara jubahnya yang indah menghiasi penampilannya dengan detail yang halus dan menawan. Bahan jubah tersebut terlihat berkualitas tinggi. Ayah Nandru menyipitkan matanya dan bertanya dengan nada ejekan, "Mau kemana?" Meskipun masih terlihat sedikit mabuk, dia tidak bisa menahan senyum ketika melihat penampilan anaknya yang rapi dan terawat.
Nandru dengan bersemangat menjelaskan kepada ayahnya bahwa hari ini dia akan pergi ke pantai atas ajakan Handara. "Ayah, Handara mengajakku ke pantai! Dia bilang ada banyak hal seru yang bisa kita lakukan di sana," ucap Nandru, wajahnya bersinar penuh antusiasme. Meski suaranya ceria, di dalam hatinya tersimpan rasa cemas yang sulit diabaikan. Handara adalah sosok yang menarik sekaligus misterius, dan perasaan senang bercampur deg-degan saat berpikir akan menghabiskan waktu bersamanya.
Ayahnya menyipitkan matanya, menatap Nandru dengan skeptis. "Ke pantai? Bersama pemuda itu?" tanyanya, suaranya mengisyaratkan rasa khawatir dan perhatian. "Pastikan kamu tidak terjebak dalam hal-hal yang tidak baik, ya. Bersenang-senang itu sah-sah saja, tapi jangan sampai lupa diri," lanjutnya, meskipun nada bicaranya dipenuhi lelucon. Nandru hanya bisa tersenyum mendengar ejekan ayahnya, berusaha meyakinkan bahwa dia akan berhati-hati .
Handara tiba di depan rumah Nandru, mengenakan jubah putih yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Penampilannya tampak penuh wibawa, sementara kuda hitam yang kuat berdiri di sampingnya, menambah kesan gagah. Nandru merapikan jubahnya sebelum melangkah keluar, merasakan hangatnya sinar matahari yang menyelimuti mereka. Keduanya saling bertukar pandang penuh makna, Saat Nandru mendekat, Handara membimbingnya untuk menaiki kuda, dan bersama-sama mereka memulai perjalanan menuju pantai, melewati jalanan yang dikelilingi pemandangan alam yang memukau.
Dalam perjalanan menuju pantai, Handara melirik Nandru dengan penuh kekaguman. "Kau tampak sangat menawan hari ini," katanya, senyumnya merekah. Suara Handara lembut, namun penuh kejujuran. Nandru merasa jantungnya berdegup kencang, terpesona oleh kata-kata Handara yang tulus. Mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat baru.
Setelah perjalanan yang penuh canda tawa, Nandru dan Handara akhirnya tiba di pantai. Suara ombak yang berdeburan dan aroma laut yang segar menyambut mereka, menambah keceriaan suasana. Handara memandang sekeliling dengan penuh rasa syukur, menghirup udara segar yang berisi keharuman garam dan kebebasan. Namun, di balik senyumnya, ada sesuatu yang lebih dalam yang menggelayuti hatinya.
Setelah beberapa saat menikmati keindahan pantai, Handara mengambil sebuah wadah kecil yang terbuat dari kayu. Nandru yang penasaran mengamati gerak-gerik Handara. Dengan perlahan, Handara membuka wadah itu dan mengeluarkan butiran halus berwarna putih. "Ini adalah abu mendiang istriku," katanya, suaranya terdengar berat. Nandru terkejut, menyadari beratnya momen itu. Handara mengangguk, seakan memberi sinyal untuk Nandru agar tetap tenang dan mengerti.
"Dia selalu menyukai pantai ini," Handara melanjutkan. "Setiap kali kami datang, dia merasa seperti di rumah. Hari ini, aku ingin menaburkan sedikit dari bagian dirinya di tempat yang dicintainya." Dengan lembut, Handara mulai menaburkan abu itu ke pasir yang lembut, memperhatikan butiran putih itu menyatu dengan alam. Nandru berdiri di sampingnya, merasakan kedalaman rasa kehilangan yang menggerogoti hati Handara.
Saat butiran abu itu perlahan menyatu dengan pasir, Nandru merasakan betapa beratnya kehilangan. "Aku berharap dia bisa merasakan kebahagiaan di sini," Handara berbisik, matanya menatap jauh ke cakrawala. Suasana hening sejenak menyelimuti mereka, hanya suara ombak yang terdengar, seakan alam pun ikut merasakan kesedihan dan cinta yang terjalin dalam kenangan itu.
Handara menatap lautan yang tak berujung, mengenang pesan terakhir mendiang istrinya dengan penuh haru. "Dia pernah berkata kepadaku," Handara memulai dengan suara lembut, "jika saatnya tiba dan dia pergi, dia ingin abu jasadnya ditaburkan di pantai ini. Dia mencintai tempat ini karena keindahannya dan kenangan yang kami ciptakan di sini bersama. Dia percaya bahwa dengan berada di sini, di tempat yang penuh cinta, dia bisa menemukan ketenangan di akhirat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertuju Padamu (BL) Ongoing☑️
Fiksi SejarahSebelum fajar, angin bertiup di pipiku Suara mu Aroma mu membungkus dan mengisi segalanya "Aku mulai mencintaimu tepat di pertemuan kedua kita, kamu mungkin tidak mengingat aku pada waktu itu tetapi tanpa kau sadar bahwa mata kita pernah menatap sa...