🍁 | 002 (18+)

120 26 13
                                    

Aku masih memeluk Aletha erat di kamar mandi yang penuh uap hangat.

Bau sabun yang menyegarkan tercium samar-samar, menyatu dengan aroma tubuh Aletha yang membuatku selalu merasa nyaman.

Suasana di kamar mandi kecil ini terasa tenang, meski ada sedikit ketegangan yang menggantung di udara.

"Sayang..." aku mencoba lagi, suaraku sedikit gemetar, meski aku tahu Aletha sangat mendengar.

Dia selalu mendengar. Tapi kali ini, dia mungkin membutuhkan lebih dari sekadar suara.

"Mau mandi bareng kamu..." ulangku, lebih pelan, takut ia mungkin merasa tak nyaman.

Bibirku nyaris bergetar, dan aku merasa napasku tak teratur. Ini bukan sekadar mandi bersama. Ini sesuatu yang jauh lebih besar dari itu. Aku tahu Aletha pasti menyadari hal ini juga.

Setelah mendengar permintaanku, Aletha terdiam sejenak. Dia menatapku dengan mata lebar, seolah tak yakin apa yang baru saja kuucapkan. Wajahnya agak merah, meski mungkin itu karena udara lembap di kamar mandi.

Aku bisa merasakan denyut jantungku semakin cepat. Bagian dari diriku ingin menarik kembali kata-kata itu, takut akan reaksi Aletha, takut bahwa ini akan terlalu berlebihan baginya. Tapi bagian lain dariku-bagian yang telah lama menyimpan perasaan ini-merasa bahwa ini adalah saat yang tepat.

Aletha melepaskan pelukannya perlahan, matanya masih tertuju padaku.

Di ruangan yang agak sempit ini, suara aliran air dari bak mandi terdengar lebih keras.

Uapnya melayang di sekitar kami, menutupi dinding kamar mandi dengan embun tipis. Tubuhku masih terasa tegang, meski pelukan Aletha tadi sempat membuatku merasa sedikit lebih rileks.

"Kenapa tiba-tiba?" tanyanya. Ada sedikit senyum di sudut bibirnya, yang meski samar, terasa seperti tanda bahwa dia tidak sepenuhnya menolak.

Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjawab. "Aku... aku cuma mau melakukan ini. Aku tahu kamu punya prinsip yang kuat soal keintiman. Tapi aku ingin kita lebih dekat lagi. Tapi kalau kamu keberatan, gak usah..."

Aletha terdiam sejenak, seolah memproses setiap kata yang kuucapkan.

Aku bisa melihat ada keraguan di matanya, seperti ia masih mempertimbangkan apakah ini langkah yang benar untuk diambil.

Namun, aku tahu Aletha selalu hati-hati, dan itu salah satu hal yang aku cintai darinya.

"Mandi bersama...," gumamnya pelan, seakan menimbang-nimbang makna di balik permintaanku. "Ini bukan hanya tentang mandi, kan?"

Aku tersenyum tipis, merasa sedikit malu karena dia bisa membaca pikiranku dengan mudah. "Iya," jawabku jujur. "Tapi kita mulai dari sini, ya? Tanpa tekanan."

Aku tahu Aletha takut akan tanggung jawab yang datang. Kami sudah begitu dekat, begitu saling memahami. Aku tau itu...

Namun, keintiman fisik membawa makna yang berbeda, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kebersamaan sehari-hari. Kami belum pernah melihat satu sama lain tanpa busana, dan aku tahu betapa pentingnya batas itu bagi Aletha.

"Kamu yakin?" tanya Aletha lagi, suaranya rendah.

Aku mengangguk perlahan. "Aku yakin."

Aletha menarik napas dalam, menatapku dengan mata yang kini terlihat lebih tenang. "Kalau kamu yakin... kita bisa coba."

Aku tersenyum lega, merasa beban di dadaku sedikit berkurang. Dia perlahan-lahan melepas tangannya dariku, lalu berjalan ke arah bathtub yang sudah penuh dengan air hangat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 18 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Meminta Restu Tuhan | Season 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang