iv. selamat malam, jakarta.

62 9 0
                                    

dan ku bisikkan, asal kau tahu bagaimana
rasanya bahagia sepenuhnya, sampai ku merasa lega, kau merasa lega. ku sampai di sana kau sampai di sana.

.❝perang telah usai, perang telah usai. aku bisa pulang. ku baringkan panah dan berteriak...

...menang.❞

nadin amizah.
di akhir perang.

*

MENGAMATI BAGAIMANA JALAN Raden Saleh menampakkan lelah di jam delapan malam, gue duduk diatas kursi indomaret yang malam ini sepi. Ditemani satu botol kopi kaleng dan odeng rebus didalam kuah pedas, gue menarik napas sejenak, mencoba menguatkan diri sekaligus membuang penat yang sejak pagi membawa gue sampai disini. Terhitung sudah satu tahun sejak pertemuan gue dengan Abi, serta penyambutan yang menurut gue cukup memalukan, gue akhirnya tinggal lagi di rumah itu. Gue kerahkan sedikit tenaga untuk merenovasi beberapa bagiannya agar terlihat layak, dan gue bawa kenangan Aji di dalam sebuah kotak kardus cokelat yang Abi hias menggunakan spidol juga bungkus kado yang cantik. Abi bersikeras meletakkan kotak itu di depan potret kelulusan Aji yang kita pajang dengan rapi diruang memorial, ruang khusus; bekas kamar Aji yang gue dan anak anak ruko rubah sedemikian rupa, yang kami dedikasikan untuk menyimpan segala hal tentang Aji juga riwayat hidupnya.

Lucunya, meski Aji nggak pernah merasakan bagaimana serunya pesta atau meriahnya hari kelulusan, tapi namanya tetap disebut sebagai murid paling membanggakan dengan nilai ujian nasional paling tinggi waktu itu. Hilal dan Haikal adalah saksinya, karena mereka ada diruang kelas yang sama mulai dari kelas sepuluh sampai ujung kelas dua belas.

Aji menerima hasil akhir yang sudah dia usahakan dengan begitu manis. Sama seperti gue yang meski harus luntang lantung satu tahun penuh di kota orang, tapi pada akhirnya gelar mahasiswa itu bisa gue raih dengan tangan gue sendiri.

Kita berhasil Aji.

Ayo kita rayakan.

"Ngelamunin apa lagi kali ini? Sorry gue baru banget keluar dari kelas karena dosen gue rewel dan temen-temen gue rese parah. Eh tumben banget lo beli odeng? Biasanya kan lo sukanya beli mie instan?"

Ditengah isi kepala gue yang menjalar kemana-mana, Abi datang dari seberang jalan, melambai ringan, sebelum dia pasang senyuman manis lalu dia berlari kecil guna segera mendudukkan diri disamping kanan gue. Sekarang kursi besi yang semula kosong itu terisi. Gue akui, malam ini rasanya Abi masih terlihat cantik seperti biasanya. Hoodie krim dan celana denim yang dia ambil dari lemari gue masih memberi dia kesan hangat juga menawan disatu waktu, sementara pembawaan dia yang selalu menenangkan jadi nilai tambah untuk kepribadiannya yang semakin hari semakin menarik.

Memang sejak kapan Abi nggak kelihatan cantik? Gue rasa setiap hari dia juga cantik.

"Gue pesen itu buat lo."

Ada banyak hal yang terjadi antara gue dan Abi selama satu tahun ini, termasuk soal ciuman yang kami lakukan saat dia pertama kali ikut nongkromg dengan gue dan anak-anak ruko dan akhirnya dia mencoba whiskey cuma karena dia penasaran kenapa setiap gue meneguk minuman itu, gue selalu terlihat mempesona, juga soal pelukan menjelang tengah malam yang kami lakukan karena terkadang kami kesulitan tidur sendirian. Kami memiliki banyak hal yang kami rasa cocok, meski baik gue atau Abi nggak pernah mendeklarasikan apapun soal ciuman atau pelukan itu.

Gue dan Abi cuma merasa kalau kami saling memiliki, terlebih saat dia tahu siapa Aji dan dia mengenal gue satu jengkal lebih dekat. Abi nggak pernah membicarakan apapun soal perasaannya, sebab katanya, dia ingin gue sembuh atas usaha yang dia lakukan,  yang dia anggap sebagai perasaan tanpa pamrih, yang dia wujudkan dalam bentuk kenangan baru.

selamat malam, jakarta.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang