i. dari kota surabaya jam empat sore.

99 13 0
                                    

kita semua gagal. ambil sedikit tisu, bersedihlah secukupnya. kan masih ada penggantinya. belum waktunya kau bisa menjawabnya — semua yang sirna, kan kembali lagi. semua yang sirna, kan nanti terganti.❞

hindia.
secukupnya.

*

KERETA BERHENTI MELAJU saat gue melangkah keluar dari gerbong. beberapa orang yang entah akan kemana atau darimana kelihatan berlarian dari dua arah, mengejar jarum waktu yang sebentar lagi mengarah ke arah jam empat sore. Memaksa gue berhenti sebentar untuk menghela napas dan melepas earbuds yang masih memainkan nada minor dari Baskara Putra. Sejenak gue menatap ke arah dimana semua orang berkerumun guna menuju peron kereta yang jadwalnya akan datang sebentar lagi. Well, kota ini nggak pernah berubah, dalam artian; selalu sesak, selalu penat, dan selalu lelah. Semua orang rasanya harus terburu-buru kalau mereka nggak mau ditinggal, padahal menunggu sebentar nggak ada salahnya. Maksud gue, lo bisa menikmati sejenak pemberhentian itu untuk menarik napas, merasakan betapa hebat lo sudah mengusahakan waktu yang ada, sebelum lo meninggalkan semua dibelakang.

Ah gue terlalu melankolis, sorry.

Gue lantas membuka hoodie yang sejak pagi gue kenakan begitu tujuan pertama gue di stasiun menyambut gue dengan sangat ramah. Raut ayu seorang perempuan paruh baya tampak sangat merindukan gue, dia bahkan terdiam beberapa saat begitu masker wajah yang pernah jadi trend beberapa tahun lalu yang sejak pagi juga gue kenakan, gue buka dan gue buang ke tempat sampah.

"Mas Dito.."

Gue merentangkan tangan, berharap beliau mau datang dari ranah dapur tempat beliau mengupas bawang merah dan bawang putih dan memeluk gue.

"Mbok Suri, saya pulang."

Nama beliau Surinala, seorang pemilik warung indomie yang sudah mangkal di area stasiun Gambir sejak stasiun itu mulai direnovasi dan diberi nada afilasi. Umur beliau mungkin lebih tua dari mamah, tapi gue yakin semangat Mbok Suri sama besarnya sama mamah kalau itu menyangkut misi bertahan hidup. Gue bahkan nggak bisa menceritakan betapa kagum gue sama mereka berdua, karena disaat dunia lagi gila gilanya, mereka tetap waras diatas logika mereka sendiri, demi mencoba untuk tetap menerima hal-hal kecil yang mereka syukuri setiap hari sambil mencintai orang-orang yang mereka jaga sepenuh hati.

"Ya ampun, Mbok kangen banget sama Mas Dito. Ih, Mas Dito bohong ya, katanya dua tahun mau balik ke Jakarta lagi, mana? Mbok tunggu tapi Mas nggak balik balik."

Seperti pelukan mamah yang selalu tenggelam diantara helaan napas gue, pelukan Mbok Suri terasa lebih rentan dari tiga tahun lalu. Buat gue wangi dapur dari badan Mbok Suri itu khas, karena dimana lagi gue bisa menemukan bau bawang putih, keringat, tumisan kangkung, sampai wangi minyak wangi mahal yang nggak sengaja mampir disana karena kebawa angin kalau bukan dari Mbok Suri. Makna gandanya, sama kayak mamah, Mbok Suri itu simbol hidup yang selalu tercium bervariasi, dengan segala cerita dan alasan didalamnya.

Terkadang gue iseng berpikir dan bertanya-tanya setiap menatap wajah lelah mamah setiap mamah selesai membuat orderan kue atau bolu, kenapa mamah yang dulu katanya jadi cewek paling cantik seangkatan waktu SMA dan kuliah, merelakan kecantikannya perlahan menua, habis dimakan waktu tanpa beliau mau protes atau marah-marah sama papah, orang yang sudah mengambil kecantikan mamah tanpa bisa mengembalikannya? Dan saat pertanyaan itu terlontar tanpa sengaja, mamah menjawab nya dengan kalimat paling sederhana.

selamat malam, jakarta.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang