Sinar berlian mengelilingi mahkota kecil di kepala yang mungil, tepuk tangan menggema seperti ribuan rakyat yang memuji Dewinya. Seindah itu dia dengan usia muda, menjadi primadona Ballerina. Tariannya bagaikan peri surga, banyak mata memandang padanya, tak luput juga dari kebencian yang menyiksanya.
Katanya, dia ingin menjadi penari angsa terbaik, latihan tiada lelah, melawan segala susah. Hingga akhirnya ia unggul dalam pencapaiannya. Mimpi ini indah, tawa ibu merdu, tetapi ledakan itu menakutan. Ketika sebuah mobil besar menerjang, menyeret dua orang ke tengah jalanan.
“Bundaaaaa!” Teriakannya melengking, menjerit di tengah malam. Perlahan suara menghilang, menjadi gelap, sesak, terbangun dari mimpi buruk yang menyengat.
Hah … napasnya tersendat, melihat jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan malam. Ia mengusap wajah yang penuh keringat, merasakan detak jantung berdebar hebat.
“Waktunya minum obat, Manisss.” Seorang wanita berambut pendek memasuki kamarnya membawa nampan berisikan segelas air dan sebotol obat.
“Lagi?” Ia terlihat malas melihat obat manis itu.
“Terus kapan lagi? Memang harus diminum sekarang, lihat, tuh, badan kamu keringetan semua. Kamu pikir bakal sembuh gitu aja? Jangan lupa, besok jadwal kita ke dokter, oke?”
“Tapi, Tante, aku males. Aku udah bilang, percuma, nggak bakal sembuh.” Kepalanya menunduk melihat kedua kaki yang tak bergerak.
“Karena belum, nanti bisa, kok. Dokter bilang ada kemungkinan buat kamu sembuh.”
“Sudah sembilan tahun, kemungkinan mulu. Nggak berhasil sampai sekarang.” Wajahnya terlalu malas untuk semangat hidup.
“Kirana, Kirana. Kamu itu dulu selalu optimis, kenapa sekarang jadi pesimis begini? Tante aja percaya, kamu juga harus yakin.”
“Optimis?” Kirana berdecih, “masanya sudah habis.” Ia memandang ke arah jendela terbuka, memaparkan kegelapan malam, segelap hatinya.
Namun, bukankah kehidupan harus tetap dijalani meskipun tidak sesuai keinginan hati? Ujung-ujungnya ia tetap melakukan hal-hal yang tak diharapkan, orang sekitar terus menyemangati, memberi keyakinan, seolah semua mudah.
Pagi ini dia sudah berpindah tempat lagi. Di rumah sakit yang menjadi langganannya selama sembilan tahun, ia melakukan pemeriksaan, terapi, berlatih, tetap saja, hasilnya tak memuaskan.
“Masalah yang dialami Kirana bukan dari fisiknya, melainkan hatinya, hati Kirana sudah kosong semenjak kecelakaan itu. Akan susah untuk dia sembuh kalau terus hidup dalam trauma dan sakit masa lalu,” terang Dokter Helena, kenalan lama keluarga Kirana.
Helaan napas mengikuti wajah iba seorang Diana, menatap ke jauh, tempat keponakannya berada, sendirian, bermain bunga di taman. “Kirana paling dekat sama kakak ipar, wajar kalau dia setrauma ini. Tapi aku kasihan liat dia terus-terusan mengurung diri, susah diajak komunikasi, bahkan sorot matanya aja nggak ada semangat sedikit pun.”
“Jangan terlalu dipaksa, pelan-pelan saja. Masalah semacam ini memang nggak semudah itu.”
“Aku udah sering bawa Kirana ke psikiater, tapi anak ini … ah, aku bingung, susah.”
Di balik pembicaraan dua orang, terdapat pria jangkung berdiri santai di belakang, dia menggigit tangkai ilalang, mengerutkan kening, memperhatikan gadis yang sedang dibicarakan.
“Ck, ck, ck. Manusia prihatin, dia kesepian, mungkin sekarang waktunya?” Dia menjentikkan jari dengan raut wajah tengil, tapi menawan.
Dalam sekejap mata pria tersebut menghilang bagai ditelan bumi, entah bagaimana caranya, hanya dia yang tahu melakukannya. Kirana mengerjapkan mata, aura merinding mulai menyusup tengkuknya. “Dingin,” ucapnya melihat sekeliling.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALLERINA
FantasySemua orang punya mimpi, termasuk gadis bernama Kirana ini. Sayangnya mimpi itu harus pupus karena terbangun oleh kenyataan, sebuah kecelakaan di usianya yang ke-10 merenggut nyawa sang ibu dan melumpuhkan kedua kaki yang dulu tampak indah sebagai p...