06 [SIHIR]

2 0 0
                                    

“Ayah ….” Mulutnya mengucap satu kata. Air mata menetes mengarungi wajah indahnya.

Tangan kekar menjadi lembut kala menyeka mutiara yang jatuh di keanggunan anak gadisnya. Mereka adalah sepasang ayah dan anak yang dulunya sangat dekat, tetapi terpisah ketika takdir membawa kisah baru.

Arsyana terpaksa tinggal di luar negeri mengurus bisnis pentingnya yang semakin sukses, semua dia lakukan bukan demi diri sendiri, tetapi demi putrinya, adiknya, karyawan-karyawannya, semua orang yang berada di bawah naungannya.

“Ayah rindu, Kirana. Maafkan ayah karena terlalu lama pergi.” Begitu pula dirinya tak dapat membendung kesedihan.

Meski terpisah lama, tetapi ikatan batin keduanya masih sekuat dahulu. Tidak retak, ataupun tersekat. Di hari istimewa ini mereka benar-benar segera meluangkan waktu bersama, hanya berdua, berbicara banyak antar satu sama lain tanpa mengungkit kesedihan dalam kebahagiaan.

Melihat keakraban dua manusia itu membuat Alan senang. Namun, ada juga perasaan cemburu, apakah hantu sepertinya memiliki perasaan cemburu? Tentu saja, sebab begini yang Alan rasakan. Bukan cemburu tidak senang terhadap hubungan Kirana dan Arsyana, melainkan cemburu karena dia tidak bisa lagi merasakan kasih sayang yang sama.

“Manusia hidup berperang dengan waktu, tidak ada satu pun yang bernyawa akan abadi.” Alan melenggang pergi usai menyaksikan keharmonisan keluarga kecil tersebut, ia duduk di hamparan rumput hijau taman. Memainkan sekuncup bunga kuning liar yang lupa dirapikan pelayan.

Senyumnya tulus, hatinya baik, ada sirat kesedihan dari matanya. Akankah ia mencapai tujuannya? Angin mengayunkan lembut kuncup bunga di tangannya, membawa kecantikan itu melayang hingga menghilang dari pandangan.

“Ke mana dia pergi hanya takdir yang tahu,” ucapnya seraya terkekeh pelan menertawakan perjalanan semesta yang penuh lelucon.

Semua berlalu begitu saja. Seminggu Alan menghilang dari kehidupan Kirana, bukan benar-benar pergi, melainkan sedang memantau, diam-diam menertawakan, diam-diam membicarakan meski hanya sendirian.

Kirana telah menghabiskan kebersamaan yang menyenangkan. Pergi bermain, makan bersama, berziarah ke makam ibu, semua yang direncanakan akhirnya terlaksanakan. Dalam waktu satu minggu Arsyana memenuhi keinginan-keinginan sang putri tunggal. Dengan begini beban Diana agak berkurang, ia lebih banyak bersantai.

Hingga kemudian ….

“Bagaimana menurutmu? Bukankah malam ini bulannya terlihat sempurna?”

“Alan?” Kedua alisnya terangkat, pandangan mata teralih pada sosok lelaki yang berdiri di sampingnya tengah memandangi candra dibalut awan pujangga berkalungkan kejora.

“Hmn?” Ia tersenyum, teduh sekali.

“Kamu masih ada di sini?” Pertanyaan dengan raut wajah sulit diartikan. Entah dia senang Alan masih ada, atau heran kenapa begitu lama si Tengil menghilangnya.

“Tentu saja, aku bukan lelaki yang pergi tanpa pamit. Kenapa? Jangan-jangan gadis cantik ini merindukan hantu tampan sepertiku?” Lagaknya kembali normal, ia bersidekap dada, bersandar ke samping jendela, mengerjapkan mata diiringi senyum genitnya.

Kirana berdecih pelan, “ternyata masih sama.”

“Apanya yang sama?”

“Tengilnya.”

“O, astaga. Dengarlah, betapa perhatiannya gadis cantik ini sehingga memperhatikan sikapku.”

Bola matanya mengerling malas. Sejenak Kirana diam sambil menonton rembulan yang meriakkan cahaya hingga bumi. Indah … tiba-tiba terbersit sebuah kenangan, muncul ide licik dalam benak. Senyumnya miring menyungging seperti penyihir yang ingin menerkam anak ayam.

BALLERINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang