Laut Berbisik 2

419 39 0
                                    

Sebelum sang kepala keluarga membuka pembicaraan, kata-kata itu meluncur perlahan dari bibirnya. "Perkenalkan, ini Tante Yuna, calon ibu kalian," ucap Baskara dengan suara yang tegas namun penuh pengharapan.

"Dan pernikahan kami akan diadakan minggu depan. Ayah berharap kalian bisa bersikap sopan kepada Ibu Yuna," lanjutnya, menatap anak-anaknya dengan mata yang penuh harap.

"Iya, Ayah," jawab Haikal, suaranya serak, seakan ada beban yang mengganjal di dalam dada.

Mahen hanya mengangguk, kata-katanya terbungkam dalam diam.

Makan siang selesai dengan sunyi. Haikal kembali ke kamar, tubuhnya dipenuhi rasa panas yang tak tertahankan, sementara Mahen memilih duduk di ruang tamu, bosan dengan hening yang menggantung. Di dalam kamar mandi, Haikal terdiam, pikirannya melayang jauh.

"Bunda, Ayah mau nikah lagi, Haikal belum siap punya ibu pengganti Bunda. Semoga Ibu Yuna baik, Bunda..." lirih Haikal, suaranya hampir tak terdengar.

Lalu ia berendam, tenggelam dalam keheningan air yang mendinginkan tubuhnya, seakan ingin melupakan segala kegelisahan yang menghimpit hatinya. Sudah hampir satu jam ia terbenam dalam kesunyian, membuat Bi Imah yang biasa menemani, merasa heran. Biasanya, anak bungsu keluarga Baskara itu selalu menemaninya ke taman belakang selepas makan siang.

Di ruang tamu, Yuna bertanya dengan nada lembut, "Mahen, mana adik kamu? Kenapa dia tidak kemari? Apa dia sakit?"

Mahen hanya menggelengkan kepala. "Mahen akan ke kamar Haikal," jawabnya singkat, lantas bangkit dan pergi menuju pintu kamar Haikal.

"Haikal! Kal!" Mahen memanggil, namun tak ada jawaban.

Ia melangkah masuk ke kamar mandi. "Haikal! Kal! Tuli ya lo! Haikal!!" Mahen terus memanggil, suara paniknya makin membuncah, namun hanya keheningan yang menyambut.

Brak!

Pintu kamar mandi dibuka paksa, dan matanya terbelalak melihat adiknya terbaring lemah di dalam bathtub, tubuhnya hampir seluruhnya tenggelam dalam air.

"Haikal! Heh! Lo gila! Lo bisa mati, bego!" Mahen berteriak panik, segera menarik Haikal keluar dari air yang dingin.

"Kal sadar! Haikal!" Mahen mengguncang tubuh adiknya, berusaha menyadarkannya. Dengan cepat ia mengganti pakaian Haikal yang basah dan membawanya ke ranjang, meletakkan tubuh adiknya dengan hati-hati.

"Bi Imah! Ambilkan air hangat, cepat!" pekik Mahen, suaranya penuh kecemasan.

"Baik, Aden!" Bi Imah segera bergegas memenuhi perintahnya.

"Ada apa, Mahen?" suara Baskara terdengar cemas, mengikuti langkahnya menaiki tangga.

"Haikal pingsan di kamar mandi, Ayah," jawab Mahen terbata.

Baskara dan Yuna segera menuju kamar Haikal, melihat anak bungsu mereka yang tampak sangat pucat. Bi Imah membawa air hangat itu dengan cepat, dan Mahen menerima air tersebut, lalu mengambil handuk kecil, menaruhnya di kaki Haikal yang terasa dingin seperti es.

Yuna menggenggam tangan Haikal dengan erat, berharap sentuhannya bisa menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Dalam hati, ia berdoa agar anak manis itu bisa segera bangun.

"Eungh..." perlahan, Haikal membuka matanya, pandangannya kabur, lalu melihat Yuna yang menggenggam tangannya dengan lembut. Kakaknya, Mahen, menyeka kaki Haikal dengan penuh perhatian, sementara sang Ayah sibuk menelepon dokter.

Pemandangan itu terasa hangat, namun di dalam hati Haikal ada perasaan bersalah yang mendalam. Ia merasa sudah merepotkan mereka bertiga, bahkan Bi Imah yang selalu ada untuknya.

"Maaf..." kata itu keluar pelan dari mulut Haikal setelah beberapa menit terdiam.

"Haikal haus? Pusing? Ada yang sakit?" tanya Yuna dengan suara lembut, penuh perhatian.

Haikal hanya menggelengkan kepala. Mahen, yang mengetahui betul bahwa adiknya masih merasa canggung dengan Yuna, menatap adiknya dengan prihatin.

"Maafkan Haikal," suara Haikal terdengar lagi, penuh penyesalan.

"Haikal ngomong apa? Kenapa minta maaf?" tanya Yuna dengan kebingungannya.

Tak lama, dokter pun datang dan memeriksa Haikal. Ternyata, tubuh Haikal memang lebih lemah dibandingkan anak-anak seusianya.

"Haikal, jangan kecapean ya. Obatnya harus diminum. Jangan begadang, dan satu lagi, jangan terlalu sering menangis, mengerti?" ujar dokter, suaranya tenang namun penuh perhatian.

"Makasih, Om," jawab Haikal dengan suara lirih.

"Obat Haikal masih ada?" tanya dokter.

"Masih," jawab Mahen singkat.

"Kalau habis, Haikal bilang ya. Biar Om dokter resepkan lagi," kata dokter itu sambil tersenyum lembut.

"Eung..." Haikal hanya mengangguk.

Yuna memandang Haikal dengan tatapan lembut. Ia merasa terikat dengan anak ini meskipun baru pertama kali bertemu.

"Mas, Haikal manis. Dia juga baik," ujar Yuna kepada Baskara.

"Iya," jawab Baskara dengan suara berat.

"Ayah, Mahen keluar mengantar dokter sebentar," kata Mahen, memberi ruang bagi ayah dan anak yang telah lama terpisah.

"Iya, Mahen," jawab Baskara.

Setelah dokter pergi, Yuna duduk di samping Haikal. "Haikal, tidur saja, ya. Istirahat," kata Yuna dengan suara yang penuh kelembutan.

"Iya," Haikal menjawab pelan, matanya perlahan tertutup.

Mahen masih terdiam, matanya tak lepas dari adiknya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia terlambat. Jika ia tak segera menyelamatkan Haikal... mungkin cerita ini akan berakhir berbeda.

TBC

Laut Berbisik (Haechan)✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang