Laut Berbisik 8

271 30 0
                                    

Pagi itu, Haikal sudah bersiap rapi untuk berangkat ke sekolah, meski tanpa sarapan. Tujuannya hanya satu, ujian Matematika yang sangat penting baginya. Dia berharap bisa meraih nilai sempurna. Saat ujian dimulai, Haikal langsung fokus. Begitu juga dengan Nathan yang duduk tak jauh darinya, saling memberikan semangat meski tidak banyak berbicara.

Ketika guru mengumumkan bahwa ujian telah selesai, Haikal segera mengumpulkan lembar jawabannya, tidak ingin menunda. Setelah itu, bel istirahat berbunyi.

"Kal, yuk ngantin," ajak Nathan, yang sudah tidak sabar untuk keluar dari kelas.

"Iya, ayuk," jawab Haikal, namun tiba-tiba, seseorang memanggil namanya.

"Haikal!" Suara itu terdengar familiar, dan Haikal pun segera dipeluk.

"Juna!" Haikal membalas pelukan temannya itu. "Gimana keadaan lo? Baik-baik aja? Udah sehat? Kalau belum, ke UKS aja yuk," tanya Juna penuh perhatian.

"Udah, udah baik-baik aja kok, ayuk ngantin," jawab Haikal sambil tersenyum.

"Jun, kenalin, dia saudara tiri gue," Haikal memperkenalkan Nathan kepada Juna.

Nathan mengulurkan tangan dan bersalaman dengan Juna. "Nathan Abyana Baskara," katanya dengan nada santai.

"Juna Geovandra Aldiro," jawab Juna, sedikit tersenyum. "Lo bisa panggil gue Jun aja."

"Oh ya," balas Nathan sambil mengangguk.

Haikal dan Juna melanjutkan percakapan, sementara Nathan hanya mengamati dengan cermat. "Kal, lo bawa buku mulu, ngga bosen apa baca terus?" tanya Juna, sedikit bercanda.

"Hobi gue baca, Jun," jawab Haikal dengan senyum khasnya.

"Kok kalian ngga satu kelas?" tanya Nathan, penasaran.

"Haikal di kelas IPA 1, gue di IPS 1. IPA itu kelas unggulan, anak-anak berbakat semua. Berbeda banget sama IPS," jelas Juna.

"Kenapa ngga masuk IPA aja, Jun?" tanya Nathan lagi.

"Gue ngga sepinter Haikal, sih. Haikal di sekolah ini dikenal sebagai ‘Si Maniac Belajar’. Nilai Haikal rata-rata selalu di atas 70," kata Juna, melanjutkan cerita. "Tapi dia tuh, anehnya, ngga pernah puas dengan nilai yang dia dapet, selalu minimal 92. Kalo enggak, dia marah."

"Saking seringnya belajar," kata Nathan sambil menggelengkan kepala, terkesan.

"Haikal ngga pernah puas. Walaupun dia selalu dapat nilai bagus, dia tetap aja merasa kurang," lanjut Juna.

Nathan hanya mengangguk-angguk, merenung.

"Tapi, entah kenapa, Haikal ngga pernah marah sama ayah dan abang-nya. Meskipun ayah selalu nyalahin dia atas apa yang terjadi pada Bunda Gita, Haikal tetap aja sayang mereka. Gue pernah tanya sama Haikal, 'Kal, lo benci nggak sama ayah dan abang?' Dan lo tahu jawabannya? Dia bilang, 'Gue nggak bisa benci mereka, Jun. Gue sayang sama mereka.' Gue sampe mikir, 'Ini orang gila apa gimana?' Tapi, itulah Haikal," cerita Juna dengan nada serius.

Nathan mendengarkan dengan seksama, matanya penuh rasa ingin tahu.

"Gue pernah tanya juga, dan jawabannya selalu bikin gue speechless," lanjut Juna. "Dia selalu bisa tetap tersenyum, meskipun semua yang terjadi sangat berat buat dia."

"Gue janji sama lo, Jun. Gue nggak akan menghakimi Haikal soal Bunda-nya. Gue bakal jagain Haikal," jawab Nathan, merasa terikat janji pada sahabat Haikal itu.

"Semoga aja Mahen juga bisa maafin Haikal. Selama Haikal sakit, dia yang urusin," kata Juna, berharap Mahen bisa menerima Haikal dengan sepenuh hati.

"Ya, semoga aja," jawab Nathan.

Bel masuk pun berbunyi, tanda bahwa jam pelajaran berikutnya sudah dimulai. Nathan kembali ke kelas dengan langkah lesu, kemudian duduk di samping Haikal, meletakkan kepala di pundak Haikal.

"Huh..." Nathan mengeluh.

"Kenapa?" tanya Haikal, sambil terus menulis catatan materi.

"Kira-kira nilai gue berapa ya, Kal?" tanya Nathan, masih dengan kepala di pundak Haikal, sedikit mengeluh.

"Ngga tahu, gue juga nggak ikut ujian barusan," jawab Haikal singkat, meskipun dia bisa merasakan ketegangan yang ada pada Nathan.

Pelajaran berikutnya adalah olahraga, dan kali ini mereka mendapatkan materi tentang basket.

"Baik, anak-anak. Materi kita hari ini adalah basket. Silakan pilih pasangan kalian masing-masing, dan buat barisan. Kita akan belajar bagaimana melempar, mengoper, dan menangkap bola. Mengerti?" tanya guru olahraga dengan semangat.

"Mengerti, Pak!" jawab seluruh kelas serentak.

Setiap kelompok mulai memilih pasangan masing-masing, dan Haikal serta Nathan akhirnya membentuk satu kelompok.

"Kal, lo yakin mau ikut pelajaran olahraga?" tanya Nathan, sedikit khawatir dengan kondisi Haikal yang baru sembuh.

"Iya, gue yakin. Lagian cuma materi biasa aja kok," jawab Haikal, mencoba meyakinkan Nathan.

Nathan hanya mengangguk, meski masih sedikit cemas. "Kalau ada apa-apa, atau lo sakit, bilang gue," kata Nathan dengan perhatian.

"Iya, tenang aja," jawab Haikal sambil tersenyum, melempar bola basket ke arah Nathan.

Mereka berdua mulai melakukan latihan dengan semangat. Haikal melempar bola dan Nathan menangkapnya dengan cekatan. Begitu juga sebaliknya, mereka saling melempar bola, sambil berlari mengelilingi lapangan.

Meskipun Haikal merasa sedikit lelah, dia berusaha untuk tetap semangat. Nathan di sampingnya selalu memastikan Haikal tidak merasa sendirian. Mereka berdua, meskipun tidak sempurna, tetapi tetap saling menjaga, seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka.

TBC...

Laut Berbisik (Haechan)✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang