Laut Berbisik 7

297 37 2
                                    

Haikal memakan roti itu, begitu juga Mahen. Mereka makan dengan tenang, namun kedamaian itu pecah ketika suara pintu kamar terbuka. Seorang dokter masuk, siap untuk memeriksa keadaan Haikal. Mahen pun terpaksa keluar sejenak, menunggu dengan sabar di depan pintu kamar.

Selesai pemeriksaan, Mahen kembali masuk, namun Haikal sudah menunggu dengan ragu. "Abang nggak mandi dulu?" tanya Haikal, matanya mengamati kakaknya yang terlihat lelah.

"Nanti aja, kita pulang. Lo juga udah lepas infus," jawab Mahen, mencoba menyelesaikan semuanya dengan cepat.

"Yah, ayo deh," jawab Haikal, sedikit lebih ceria. Tak lama, mereka berdua berangkat pulang dengan motor Mahen.

Sesampainya di rumah, Mahen terlebih dahulu masuk ke dalam, diikuti Haikal yang berjalan pelan di belakang. “Lo udah boleh pulang, Haikal?” tanya Yuna, sambil melihat ke arah Haikal yang muncul dari pintu.

Haikal mengangguk, tersenyum ringan. "Udah, Bunda," jawabnya dengan nada ringan.

“Gimana? Udah enakan?” tanya Yuna penuh perhatian, melangkah mendekat untuk memastikan kondisi Haikal.

“Udah kok, Bunda,” jawab Haikal sambil mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya.

Mahen, yang merasa tak perlu berlama-lama, langsung masuk ke kamar untuk mandi. Yuna mengangguk, memahami.

"Haikal, naik dulu ya," ucap Yuna lembut.

"Iya, Bunda," jawab Haikal dengan nada ceria, meskipun ada sedikit rasa tidak nyaman di hatinya. Ia lalu berjalan menuju kamar, namun langkahnya terhenti saat ia melewati kamar Mahen. Tiba-tiba, pintu kamar Mahen terbuka, dan tangan Mahen menariknya masuk dengan cepat.

"Eh, eh!" Haikal terkejut, hampir terjatuh.

Mahen buru-buru menutup pintu kamar. “Ada apa, Bang?” tanya Haikal bingung.

“Lo belum minum obat. Minum dulu,” kata Mahen, sambil menyerahkan obat yang sudah disiapkan.

Haikal meminum obat dengan patuh, kemudian Mahen memberinya izin untuk kembali ke kamar. Namun, kali ini Haikal merasa ada yang kurang, ada kerinduan yang tiba-tiba datang begitu saja. Dengan langkah pelan, Haikal berjalan menuju taman belakang rumah. Di sana, dia memanggil dengan suara keras, “Bi Imah!”

“Tunggu, Aden!” Bi Imah muncul dengan cepat, langsung memeluk Haikal dengan penuh kasih sayang. "Katanya Aden sakit, kok udah pulang?" tanyanya, matanya penuh perhatian.

"Udah, dong. Kan aku kuat," jawab Haikal, sambil tersenyum dan memamerkan otot tangan dengan riang.

"Aden udah makan?" tanya Bi Imah, masih memeluk Haikal.

"Udah tadi, sama roti. Dibeliin Bang Mahen," jawab Haikal dengan sedikit tertawa.

"Kalau butuh apa-apa, bilang bibi ya, Den," ujar Bi Imah dengan nada penuh perhatian.

"Iya, Bibi," jawab Haikal sambil sedikit merengek, "Oiya, Bi..."

"Kenapa, Den?" tanya Bi Imah, menatap Haikal dengan rasa ingin tahu.

"Bibi bikinin camilan dong, Bi," kata Haikal, sedikit manja. Ya, dia memang sangat dekat dengan Bi Imah, satu-satunya orang yang selalu ada di rumah ini selain Yuna.

"Yaudah, Bibi bikinin. Aden tunggu di kamar aja ya, kan baru sakit," jawab Bi Imah dengan senyum lembut, mengusap rambut Haikal.

"Iya, Bi," jawab Haikal, dan dia pun beranjak naik ke kamar. Hari ini, ia tak masuk sekolah karena sakit. Sesampainya di kamar, ia berbaring, matanya menatap langit-langit kamar yang kini menjadi kamar bersama Nathan, adik tirinya.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Suara bisikan datang lagi, seolah datang dari dalam dirinya sendiri. Suara ombak yang berbaur dengan makian, suara-suara aneh yang semakin mengganggu pikirannya. “Per... pergi, ku mohon. Bukan aku, maaf... Bunda, maaf...” Haikal menutup kedua telinga dengan rapat, mencoba menenangkan diri.

Jantungnya berdegup kencang, lebih cepat dari biasanya. Ketegangan itu begitu terasa, dan tiba-tiba jam tangan yang dipasangkan oleh Yuna berbunyi.

Tit, tit, tit, tit.

Suara itu memecah keheningan. Yuna yang mendengar bunyi jam segera menuju kamar Haikal. Apa yang ia lihat membuat hatinya serasa tercekik. Haikal, dengan wajah pucat, berusaha menenangkan dirinya, tapi tampaknya itu tak cukup.

"Haikal, sayang, hei, ini Bunda, Bunda di sini," Yuna memeluk Haikal dengan lembut, mengelus kepala Haikal, berusaha menenangkan ketakutannya.

Haikal masih memegangi dada, napasnya terengah-engah. Mahen, yang mendengar keributan dari kamar Haikal, berlari masuk, tampak cemas. “Mahen, tolong adik kamu!” seru Yuna, panik.

Mahen segera mendekat dan mengangkat Haikal, membaringkannya kembali di ranjang. “Haikal, tenang, Haikal anak baik. Haikal bukan pembunuh, abang percaya itu,” kata Mahen dengan suara lembut namun tegas. Ia berusaha menenangkan Haikal yang semakin cemas.

“Haikal kesayangan abang, Haikal harus kuat, oke?” lanjut Mahen, kata-katanya penuh kasih sayang, seolah ingin menenangkan Haikal dengan segala cara.

Yuna tak berhenti mengusap kepala Haikal, matanya penuh kecemasan. Perlahan, detak jantung Haikal kembali normal. Mahen dan Yuna bisa bernafas lega. Haikal akhirnya tertidur, dan Yuna menyelimuti tubuhnya dengan lembut.

Mahen berdiri di sisi ranjang, melihat dengan seksama bagaimana Yuna merawat Haikal, dan ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Dia tahu, Yuna sungguh mencintai Haikal. Namun, perasaan itu masih berbenturan dengan luka lama di hatinya—perasaan kehilangan Gita, ibu kandung Haikal, yang tak pernah bisa ia lupakan.

Mahen memandang Haikal sejenak, kemudian menoleh ke luar jendela. Perasaan ingin membawa Haikal keluar dari semua ini masih ada dalam dirinya, namun dia tahu, itu bukanlah keputusan yang mudah. Ia harus memastikan bahwa Haikal akan berada di tangan yang tepat, di sekeliling orang-orang yang peduli padanya.

Di sisi lain, Mahen berencana melanjutkan kuliah di luar negeri, berusaha hidup mandiri. Namun, ia tak bisa begitu saja membawa Haikal. Ia melihat betapa Nathan, adik tiri Haikal, sangat sayang padanya. Begitu juga dengan Yuna, yang jelas-jelas ingin merawat Haikal dengan sepenuh hati. Dengan itu, Mahen mengurungkan niatnya, menyadari bahwa Haikal lebih membutuhkan mereka di sini.

TBC...

Laut Berbisik (Haechan)✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang