chapter 4

55 13 1
                                    

Sejak pengakuan gempar itu berlaku  dua hari yang lalu, Jeno masih terdiam seolah tidak mampu berkata apa-apa. Selama bertahun-tahun berteman dengan Haechan sejak mereka SMA, Haechan tidak pernah sekali pun berbagi cerita tentang keluarganya. Tiba-tiba saja kemarin Jeno mendengar kabar mengejutkan bahwa Renjun adalah adik angkat Haechan. Rasa penasaran Jeno yang sudah memuncak akhirnya membuat Haechan terpaksa membuka cerita tentang bagaimana Renjun masuk dalam keluarga mereka setelah tragedi yang menimpa keluarga aslinya.

Mendengar semua itu, Jeno bukan hanya kaget tetapi juga ikut merasakan kesedihan yang selama ini disimpan oleh Renjun. Rasa simpati Jeno semakin dalam ketika dia membayangkan bagaimana Renjun harus beradaptasi di lingkungan yang baru, dengan segala beban emosional yang dia bawa.









Sore menjelang, suasana di kamar terasa sunyi. Zhang Hao yang sedang duduk sendirian di kamar memetik senar violin dengan sangat lembut. Jemarinya dengan gesit dan halus memetik alat musik itu, memainkan nada-nada yang merdu seolah dia sedang menghayati setiap alunan musik yang keluar dari viollinnya. Suaranya memenuhi ruangan, menciptakan atmosfir yang begitu tenang dan damai. Saking merdunya,alunan tersebut menarik dua ekor burung yang hinggap di jendela, seakan tertarik oleh musik indah yang Zhang Hao mainkan.

Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka pelan. Renjun masuk dengan langkah tenang, wajahnya tampak lelah. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk di depan Zhang Hao dan menatapnya. Zhang Hao sempat melirik Renjun dan ingin berhenti memainkan violinnya. Namun Renjun memberikan isyarat dengan tangannya agar Zhang Hao tetap melanjutkan. Tanpa berkata-kata, Zhang Hao kembali memetik violin itu, melanjutkan alunan musiknya yang lembut, menyambung melodi yang terdengar menyentuh jiwa.

Renjun duduk diam mendengarkan dengan penuh perhatian, menikmati setiap nada yang dimainkan oleh Zhang Hao. Tiga menit berlalu hingga akhirnya Zhang Hao berhenti dan meletakkan violinnya di atas meja. Renjun, yang begitu tkagum langsung bertepuk tangan kecil.

Kamu keren banget!" puji Renjun tulus. "Main violin ga gampang loh tapi pas liat kamu main kayaknya gampang banget."

Zhang Hao tersenyum tipis, terlihat sedikit malu atas pujian itu. "Makasih, Renjun. Tapi aku masih jauh dari sempurna."

Seketika Zhang Hao dengan cepat menyadari perubahan ekspresi di wajah Renjun. Dia mendongak sedikit dan melihat Renjun menghela napas panjang, jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Kenapa tiba tiba ngeluh?" tanya Zhang Hao sambil menyandarkan violinnya di samping, penasaran.

Renjun menggigit bibirnya sebelum akhirnya dia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya.

"Ini" katanya sambil menyerahkannya kepada Zhang Hao. "ini daftar barang-barang yang aku butuh buat jurusanku...."

Zhang Hao menatap daftar itu dengan alis terangkat. "Masih banyak yang kamu belom punya?"

Renjun mengangguk lemah, menghela napas lagi. "Aku pikir cuma butuh watercolor sama alat-alat dasar tapi ternyata masih ada banyak lagi yang aku belum punya."

Zhang Hao mengangguk paham. "Wajar sih, alat seni emang sering bikin pusing. Mau aku temenin buat belanja barang-barangnya?"

Renjun menggeleng cepat, mencoba tersenyum kecil. "Enggak—enggak usah. Aku bisa cari sendiri kok." Lagipula, bakal makan waktu yang lama karena renjun juga nggak tahu brand yang mana bagus untuk dibeli.



"Ahh..oke.."





Ketika Zhanghao udah keluar dari kamar, Renjun mengambil ponselnya untuk berbucara dengan seseorang.

Suaranya terdengar sedikit gugup ketika dia mulai berbicara di telepon, ragu-ragu untuk mengutarakan keinginannya. Dia tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi dia merasa terdesak.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

2 Dunia | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang