part 1

3 1 0
                                    

" AKU TAU DAN AKU SADAR, HANYA SAJA DIRI INI BELUM BISA MENERIMA KENYATAAN. "

Suatu pagi yang cerah, Lia sibuk menghias halaman rumah mereka yang kecil dengan beberapa bunga. Dia berharap tampilan bunga-bunga itu bisa membawa kedamaian di tengah tuntutan hidup yang semakin menekan. Tiba-tiba terdengar suara ibu dari dalam rumah memanggil namanya.
"Lia, kemarilah, nak. Hentikan dulu pekerjaanmu dan bersiap-siaplah! Mereka akan tiba sebentar lagi. tanya ibunya lembut namun penuh perhatian
"Iya, Bu. Sebentar lagi," jawab Lia dengan setengah hati, masih sibuk merapikan bunga.
Namun, tak lama kemudian, ibunya datang menghampiri dan langsung membantunya berdiri. " Astagfirullah Lia. Kau terlihat kotor sekali! Sudah, lebih baik kau bersiap Apa kamu mau calon suamimu melihat kamu dalam keadaan seperti ini. Ha?!" seru ibunya, setengah memerintah.
"Baiklah, Bu," jawab Lia dengan senyum manis yang dipaksakan. Dia tahu, senyum itu selalu berhasil membuat ibunya berhenti mengomel.
Ibu Lia sangat menyayangi putri sulungnya. Meskipun usia Lia sudah 30 tahun dan belum menikah, ibunya selalu berusaha menjaga penampilannya agar tetap rapi. Terlebih lagi, lingkungan sekitar mereka yang suka membicarakan keadaan Lia, membuat ibunya merasa perlu memberikan perhatian ekstra. Mereka tinggal di sebuah rumah susun yang ramai, di mana desas-desus cepat menyebar.
Ibu Lia sangat menyayangi putri sulungnya. Meskipun usia Lia sudah 30 tahun dan belum menikah, ibunya selalu berusaha menjaga penampilannya agar tetap rapi. Terlebih lagi, lingkungan sekitar mereka yang suka membicarakan keadaan Lia, membuat ibunya merasa perlu memberikan perhatian ekstra. Mereka tinggal di sebuah rumah susun yang ramai, di mana desas-desus cepat menyebar.
Lia menuju ke kamar dan segera memakai gaun sambil berdiri mematung di d depan cermin mengenakan gaun sederhana berwarna pastel yang sudah mulai kusam. Rambut panjangku yang hitam legam tergerai bebas, meskipun beberapa helai terlihat acak-acakan. Wajahku tanpa riasan, hanya dihiasi sedikit bedak dan lip balm, menunjukkan ketulusan namun membuatku terlihat lebih polos. Mataku, yang biasanya cerah, kini dipenuhi dengan kesedihan, membuat bulu mataku yang panjang terlihat lebih mencolok saat air mata mengalir, dan tak lupa dengan kacamata yang selalu menghiasi mata ini.
Setelah membersihkan diri, Lia menuju ruang tamu dan melihat ayahnya, Dimas, sedang berbicara serius di telepon. Nada suaranya berubah-ubah, dimulai dengan optimisme namun diakhiri dengan kekecewaan yang jelas terasa.
"Baiklah,Aku mengerti." ayahnya mengakhiri percakapan dengan nada tegas, kemudian meletakkan teleponnya dengan kasar. Lia, yang penasaran dengan apa yang terjadi, menghampiri dengan hati-hati.
"Ada apa, Ayah?" tanya Lia lembut, mencoba memahami situasinya.Dimas menatap Lia dengan mata yang penuh amarah dan frustrasi.
"Mitha! Batalkan semua acara hari ini! Tidak akan ada lamaran! Keluarga besan kita membatalkan perjodohan ini!" bentaknya, membuat ruangan seketika menjadi sunyi.
"menunda?Lia terkejut. Tubuhnya terasa lemas mendengar kata-kata ayahnya, sementara ibunya langsung terduduk di lantai, seolah tak sanggup menahan kabar buruk itu.
"Mereka bilang apa, Mas?" tanya ibunya dengan suara bergetar.
"Mereka membatalkannya! Anak mereka sudah memilih calon lain!" Dimas menjawab dengan nada penuh kemarahan. Wajahnya merah, menggambarkan betapa kecewanya dia.Lia hanya berdiri terpaku, tubuhnya tak bisa bergerak. Air mata mulai menggenang di matanya. Ini bukan pertama kalinya perjodohan yang diatur oleh ayahnya gagal.
"Jadi, semua persiapan ini sia-sia saja?" tanyaku, suaraku serak karena menahan tangis
" Ayah yang biasanya keras kini tampak letih dan kehilangan semangat. "Ini bukan hanya tentang perjodohanmu, Lia. Ini tentang reputasi keluarga kita. Kami sudah menginvestasikan banyak waktu dan tenaga dalam hal ini. Bagaimana mungkin mereka membatalkannya begitu saja?"
"jangan tanya kenapa ayah, dengan penampilan kakak cupu seperti ini, gak akan ada yang mau yah, gk akan ada! " Jawab tasya menatap sinis Lia
" Tutup mulutmu Tasya! jangan melewati batasanmu." jawab Ibu
“Terserah kalian, dari dulu kakak memang pembawa sial di keluarga ini Ma!

Ayah menghela napas panjang, "Kita harus menghadapi ini dengan kepala tegak. Tidak ada gunanya meratapi apa yang sudah terjadi. Sekarang, kamu harus bersiap untuk bekerja, seperti yang sudah direncanakan."
Berkali-kali Lia dijodohkan dengan pria-pria pilihan ayahnya, dan setiap kali, hasilnya selalu berakhir dengan kegagalan. Rasa malu, kecewa, dan putus asa bercampur menjadi satu dalam hatinya.Ibu Lia, meskipun terpukul, mencoba untuk tetap tenang. Dengan susah payah, dia berdiri dan memeluk Lia. "Tidak apa-apa, Nak. Mungkin ini belum saatnya. Kami tetap mendukungmu."
Lia, sambil menahan tangis, hanya bisa mengangguk. "Aku... aku akan berusaha lebih baik, Bu, Mungkin ini tanda bahwa aku harus menunggu lebih lama lagi." ucapku lirih, meskipun dalam hatinya dia tidak yakin akan kata-katanya sendiri.

Story AdeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang