Part 2

6 1 0
                                    

"Pertemuan Adalah Takdir, Dan Setiap Pertemuan Akan Selalu Membawa Kita Ke Takdir Yang Lain."

Dengan berat hati, aku pergi menuju kamar untuk bersiap. Namun, pikiran tentang kegagalan ini terus menghantui. Di benakku, aku mulai bertanya-tanya, akankah ada kesempatan lain bagi diriku untuk menemukan kebahagiaan? Ataukah aku harus terus menjalani hidup dengan ekspektasi yang terlalu tinggi dari orang lain?
Aku hanya diam mematung di tempat ku berdiri, sambil mengeluarkan air mata yang sempat ku tahan di ruang tamu tadi. sudah berkali-kali aku gagal dalam perjodohan ini. tapi apalah yang bisa aku berperbuat aku hanya seorang wanita, wanita yang hanya bisa menunggu jodohnya.
Tiba-tiba ibu menghampiriku dan memeluk ku dengan kasih " tidak perlu khawatir nak, kamu itu kuat dan cantik tidak harus dengan penampilan bukan?, tetap tutup telinga jika ada yang gosip tentang kamu, tidak ada yang mampu menghina anak ibu di daerah sini nak, mereka tidak akan berani, karena papa kamu sekretaris dan punya tanggung jawab di rumah susun ini, jadi tenangkan dirimu , ganti pakaian ayahmu menunggu.
"Baiklah bu, Terima kasih tetap mendukung ku, sekali lagi aku akan berusaha agar cepat mendapat kekasih pilihan ayah agar pernikahan Tasya tidak tertunda lagi. " sahutku sambil menghapus air mata ini dengan menampilkan mencoba tersenyum.
"kan bu!  sudah ku katakan tidak ada yang mau menerima kakak! lalu, bagaimana nasib cintaku dengan Raka? ia memberiku waktu dua bulan untuk menunggu kakak! tapi wanita  kuno ini!! dia selalu membuatku di tinggal oleh Raka sementara aku tidak bisa melangkahi dirinya! " kata Tasya adikku dengan nada marah.
" Apa sopan santun mu sudah tidak berlaku lagi Tasya?, pelan kan suaramu
perkataan Tasya membuatku semakin lemah tak terkulai. apa ini tuhan..?  mengapa ini terlalu berat.. bahkan adikku menganggapku sebagai musuhnya.
" Tasya!  Hentikan omong kosongmu! nanti ayahmu mendengar dan memarahimu." kata ibu
"Kakak Lia, kenapa selalu dia Ma?Tasya juga anak kalian , please.. bagaimana jika Raka meninggalkan ku Ma? Aku mencintai yaa
" Mengapa kau tidak mencari kekasih sendiri ka?, kenapa harus kami yang harus tangung jawab perihal ini, Ha! Tasya membentakku.
"Ada perbedaan antara mencari dan menemukan seseorang De, ini buka berarti aku tida memiliki kesenangan. Tetapi jika pria itu menolak, aku harus apa? Aku tergantung pada kelurga ini untuk menemukan mana pria yang cocok untukku.
" Terserah. "jawab tasya dan langsung bergegas keluar dari kamar meninggalkan aku dan ibu.
Kemudian ayah mengajakku untuk pergi berkerja, ayah ke kantor dan aku ke perpustakaan. yah aku berkerja sebagai resepsionis dan penjaga perpustakaan.
" tapi, Mas tidak ingin mengambil cuti hari ini? bukankah Mas sudah mengatakan pada pihak kantor untuk cuti." tanya ibu
" Setelah kejadian ini,  tidak ada cuti! ayo Lia! " kata ayah sambil mengandeng tanganku.
" bagaimana tidak di sukai banyak pria, lihat dandanan mu kak! kau terlihat sangat kuno! " kata Tasya
"Tasya, ku mohon hentikan! aku takut jantung ayah kambuh lagi karena perkataanmu de!  sebelum waktu 2 bulan aku akan menikah, aku janji padamu de, kendalikan emosimu" jawabku
"Jangan sampai lima jariku menempel di wajah mulusmu de, sebaiknya kamu hubungi pacarmu agar cepat menjemput, sudah ku katakan berulang kali, di keluarga kita tidak boleh melangkahi kakakmu perihal pernikahan" kata ayah lalu berlalu pergi sambil menggandeng tanganku
" Ayo Lia, kita pergi! " kata ayah dengan nada sedikit .
Aku dan ayah berjalan menuju lift di lorong rumah susun yang agak sepi. Udara pagi yang biasanya tenang mendadak pecah saat suara langkah berat terdengar di belakang kami. Aku menoleh sejenak, dan melihat seorang pria bertelanjang dada, dengan tatapan tajam yang membuatku merinding. Dia berjalan mendekat, diikuti oleh seorang wanita dengan pakaian yang terlalu mencolok untuk pagi hari. Mereka tampak tidak peduli dengan sekitar, seakan dunia ini hanya milik mereka berdua.
Saat kami sampai di depan lift, pria itu tiba-tiba mempercepat langkahnya dan berdiri di depan kami. Wanita di sebelahnya menyandarkan tubuhnya ke pria itu dengan gaya yang jelas mengundang perhatian. Mereka tertawa kecil, dan berciuman seolah mengabaikan kehadiran kami.
Ayah yang sudah kelihatan kesal sejak tadi pagi akhirnya tak tahan lagi.
"Apa-apa ini! Dasar tidak tahu malu!" bentak ayah, suaranya menggema di lorong sempit itu.
Wanita itu hanya melirik ayah dengan tatapan menghina. "Kau mau menggunakan lift ini? Silakan," katanya, dengan nada yang sama sekali tidak menyesal.
Ayah menarik napas panjang, wajahnya memerah. Kami melewati mereka, dan meskipun ayah masih terlihat marah, aku hanya bisa tertunduk sambil berjalan cepat ke dalam lift. Saat pintu lift mulai menutup, aku sekilas melihat pria itu menatapku dengan tatapan yang dingin dan menusuk, membuat jantungku berdetak lebih cepat.
Setelah melewati pria dan wanita itu, aku bisa merasakan betapa marahnya ayah. Wajahnya masih tegang, rahangnya mengeras, dan napasnya terdengar pendek-pendek. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatapnya.
Dalam hati, aku berharap kemarahan ayah segera mereda. Namun, yang kutahu, jika sudah seperti ini, sulit bagi ayah untuk melupakan begitu saja.
Saat kami keluar dari gedung, sinar matahari pagi yang cerah tidak berhasil mengusir rasa tegang di antara kami. Di depan pintu rumah susun, ayah melihat seorang pria yang biasa kami sebut sebagai "Patel", pemimpin rumah susun ini, sedang berdiri sambil berbicara dengan penghuni lain.
“Hei Patel!” suara ayah langsung keras, membuat Patel menoleh dengan kaget.
“Siapa yang berani memasukkan pria jahanam itu ke rumah susun ini? Pagi-pagi dia menahan lift, bertelanjang dada sambil memeluk seorang wanita. Sungguh memalukan!”
Aku bisa melihat ekspresi Patel berubah. Wajahnya yang biasanya ceria dan ramah mendadak tegang, seolah ia tahu bahwa masalah yang ayah angkat ini bukan hal sepele.
“Pria itu? Oh, yang Anda maksud... Dia seorang penjahat,
” kata Patel perlahan, matanya menatap ke lantai, seakan mencoba mencari kata-kata yang tepat.
“Dia membunuh ibunya sendiri, dan sudah di penjara sejak umur 13 tahun. Dia tinggal di rumah Bibi Malti, hanya untuk sementara.”
Mendengar kata-kata itu, tubuhku langsung menegang. Membunuh ibunya sendiri? Pria itu? Aku tidak bisa menahan rasa takut yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhku. Sekilas tatapannya yang tajam dan dingin kembali terbayang di benakku. Pikiranku berlari ke arah berbagai kemungkinan mengerikan yang mungkin terjadi jika dia tinggal lebih lama di rumah susun ini.
“Ayo, Lia. Kita pergi dari sini,” kata ayah dengan nada memerintah. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi aku tahu dia marah sekaligus cemas.
Kami terus berjalan dalam diam, mencari taksi. Suasana di antara kami semakin berat. Aku hanya bisa mengikuti ayah tanpa banyak bicara, meskipun ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalaku. Kenapa pria itu kembali ke sini? Bagaimana bisa Bibi Malti menerima orang sekejam itu di rumahnya?
Begitu kami mendapat taksi, ayah langsung menyuruh sopir menuju ke tempat tujuan kami. Aku duduk di sebelahnya, dan tak ada percakapan di antara kami. Untuk mengalihkan pikiranku dari perasaan takut yang masih menggantung, aku membuka tasku, mencari sesuatu untuk dibaca. Aku meraih novel favoritku dan mulai membuka halaman yang terakhir kubaca, berharap cerita di dalamnya bisa menenangkan pikiranku.
Tapi aku bisa merasakan tatapan ayah. Tanpa perlu menoleh, aku tahu dia sedang menatapku dengan sinis.
“Apa itu, Lia?” tanyanya, nadanya dingin dan tajam.
“Untuk apa kau membaca buku yang tidak menambah IQ-mu? Membaca hal-hal yang tidak berguna itu hanya buang-buang waktu.”
Aku menelan ludah, merasa canggung di bawah tatapannya yang menghakimi.
“Maaf, Yah,” jawabku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh suara mesin taksi yang melaju di jalanan. Aku tahu ayah tidak pernah benar-benar menyukai kebiasaanku membaca novel. Baginya, buku-buku fiksi seperti ini hanya omong kosong yang tidak ada gunanya dalam kehidupan nyata.
Namun bagiku, dunia di dalam novel adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa melarikan diri dari kenyataan, dari tekanan, dan dari rasa takut yang terus menghantui.
Aku menunduk, membiarkan novelku terbuka di pangkuan, meskipun aku tidak lagi fokus pada kata-kata di dalamnya. Suasana dalam taksi terasa semakin tegang, seakan setiap detik yang berlalu hanya memperburuk keadaan.
Ayah masih menatap keluar jendela, wajahnya keras, tapi aku bisa merasakan kekecewaan di balik sikap dinginnya.Selama ini, aku hanya bisa berharap ayah mengerti bahwa aku butuh pelarian. Aku butuh sesuatu yang bisa membuatku merasa bebas, meski hanya untuk beberapa saat. Tapi baginya, pelarian itu adalah kelemahan. Dan kelemahan adalah sesuatu yang tidak pernah dia terima.

Story AdeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang