part 4

1 1 0
                                    

"Pertemuan adalah takdir, dan setiap pertemuan akan selalu membawa kita ke takdir yang lain."

Lia berlari menghapus air mata yang terus menetes tanpa henti menekan tombol lift, memasuki lift menerungi nasibnya, namun saat menekan tombol angka tiba-tiba lift terbuka kembali menampilkan seorang yang pernah bertemu dengannya, sebelum pria itu melihat nya lia dengan cepat mempakai topeng agar aman.
Di balik topengnya, lia memperhatikan pria itu "Alamaaa.. Pria ini kan yang d rumah susun kemarin, ohh Tuhan lindungi nyawa hambamu ini, gw belum siap mati" bisikan hati lirih lia,
Belum sempat rasa terkejut Lia mereda, napasnya yang semula tertahan kini semakin berat ketika dia menatap formulir di tangannya. "VIP pustakawan?" gumamnya dalam hati, berusaha memastikan apa yang dilihatnya nyata. Nama tempat dia bekerja tertera jelas di sana, membuat dadanya berdegup lebih kencang. Bagaimana mungkin? Kenapa tempat kerjanya terlibat? Pikiran itu berputar tanpa henti di kepalanya.
Namun, perasaan sedih yang sempat menguasainya kini berubah menjadi ketakutan yang tak terkendali. Tepat di depan matanya, pria dengan penampilan menyeramkan berdiri, memperhatikannya dengan tatapan tajam. Pria bertubuh kekar itu penuh tato yang menjalar di lengannya, rambutnya berantakan, dan aura kelam mengelilinginya. Lia tahu dia adalah mantan narapidana. Kini, dia berada di lift yang sempit bersama pria itu
"Siapa namamu,? " pria berbicara dengan nada serak dan fokus memandang ku, tapi si empuh enggan menjawab.
Namun, sebelum pria itu bisa berkata lebih lanjut, lift tiba-tiba berhenti dengan bunyi berderit yang keras. Cahaya dalam lift mulai berkedip-kedip, lalu mati total. Gelap. Seluruh tubuh Lia menegang seketika, jantungnya seolah ingin meledak.
"Ohh.. Tidak jangan bilang liftnya rusak? "
"Menurut mu apa? Gw kira tuli ternyata pura-pura doang "
"Hmmm.. "
Pria itu mendekati panel tombol lift, mencoba menekan beberapa tombol, namun semuanya tak merespon. "Hmm.hmm..lagi nyanyi lagu sabyan? Suara lu jelek, sial kita benar-benar terjebak. " dengan nada kesal
Lia semakin panik "apa kita bisa keluar? " Pikirannya semakin kacau dengan ketakutan yang bercampur antara pria itu dan keadaan yang tak terkendali.
"Bisa kok, lu tinggal berubah dari badut jadi Hulk. " katanya dengan menahan tawa
"Hulk itu apa yaa?"
"Serius lu gak tau? , yaelah sabyan zaman gini masih ketinggalan hulk itu Superhero hijau gede dari Marvel! Orangnya tenang, tapi kalau marah langsung berubah jadi monster super kuat."
" owhh gitu yaa, tapi itu teman temannya sabyan gak sih? "
Rian langsung berhenti tertawa dan menatap Dani dengan tatapan bingung. "Ha? Lu waras dimana letaknya? Gue bilang Sabyan temennya, peaa..." Rian menggelengkan kepala, bingung bagaimana bisa Dani sampai salah paham begitu jauh.
"Terus lu bilang tadi apa ? ehh lu ngatain gw sabyan*
" emang, hahaha.. Lagian hmm sihh. "
meskipun mereka sudah lama mengobrol, lift itu masih saja belum terbuka. Pria itu sudah basah kuyup oleh keringat, sementara Lia perlahan merasakan sesak di dadanya.
Pria bertato itu mengambil napas dalam-dalam sebelum mengeluarkan kemejanya, berusaha meredakan panas yang semakin menyengat di dalam lift. "Maaf, ini terlalu pengap," katanya sambil melipat kemejanya dan mengikatnya di pinggang.
Namun, tindakan itu justru membuat Lia semakin merasa sesak. Suasana di dalam lift terasa semakin berat, dan melihat pria itu tanpa kemeja menambah ketidaknyamanan yang dia rasakan. "Ini... ini semakin membuatku cemas," Lia mengakui, berusaha menekan rasa panik yang mulai menjalar.
"Gue minta maaf. Gue cuma berusaha mencari cara untuk merasa lebih baik. Lu baik-baik aja?" Dia melirik ke arah Lia, mencoba memastikan bahwa dia baik-baik saja meskipun dia sendiri mulai merasa terdesak.
Lia merasakan sesak napas yang semakin parah. Topeng di wajahnya membuatnya sulit bernafas, dan dia bisa merasakan panik mulai menyergapnya. "Aku... tidak bisa... bernafas," ujarnya, suaranya terdengar serak dan putus-putus. Dengan gerakan cepat pria itu membuka topeng lia
"Bukannya... gadis ini yang tadi bersama ayahnya?" gumamnya pelan
Namun, rasa terkejut itu tak berlangsung lama. Kondisi Lia yang semakin memburuk membuatnya tersadar dari kebingungan. "Tenang, atur napasmu," ucapnya cepat, namun nafasnya tetap sesak.
Tanpa menunggu jawaban, pria itu meraih bahu Lia dengan lembut, membuatnya menghadap ke arahnya. "Tarik napas dalam-dalam dan ikuti apa yang gw lakukan," dia berkata dengan nada tenang.
Kemudian, dengan kecepatan yang cukup cepat, dia menundukkan kepalanya dan mencium Lia. Awalnya, Lia terkejut dan tidak bisa berpikir dengan jelas. Namun, dia merasakan aliran udara saat pria itu berusaha membantunya bernafas. Ciuman itu singkat
Lia menutup matanya, berusaha fokus pada ritme napasnya. "Tarik napas, Lia. Rasakan udara yang masuk ke dalam tubuhmu," pria bertato itu membimbing. Meskipun situasi tidak biasa, Lia merasakan kehangatan dan kenyamanan dari pria itu, dan perlahan, rasa panik mulai mereda.
Mereka berdua saling bertukar tatapan, seolah waktu berhenti di antara mereka. Dalam keheningan lift yang mencekam, ketegangan semakin terasa. Lia, meskipun masih berusaha menenangkan napasnya, merasakan sesuatu yang tak terjelaskan saat menatap pria bertato di depannya.
Entah siapa yang memulai, namun perlahan jarak di antara mereka berkurang. Bibir mereka bertemu, kali ini bukan lagi ciuman singkat atau spontan, tapi sangat dalam dan penuh dengan perasaan yang tak terucapkan. Ciuman itu membawa mereka ke dalam momen yang seolah menghapus semua keraguan dan rasa takut yang tadi menyelimuti.
Ketika mereka akhirnya melepaskan diri, napas mereka terasa berat, bukan lagi karena kepanikan atau sesak, tapi karena intensitas momen yang baru saja terjadi. Mereka saling menatap, terdiam, dan seolah kata-kata tak lagi diperlukan untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Tatapan pria bertato itu masih terfokus pada Lia, seolah ingin berkata sesuatu, namun belum sempat dia membuka mulut, suara pintu lift berbunyi.
"Ding!" Suara mekanis yang tiba-tiba itu membuyarkan keheningan di antara mereka. Pintu lift perlahan terbuka, membiarkan udara segar masuk dan menghilangkan atmosfer intens yang baru saja tercipta di ruang sempit itu. Lia langsung menyadari bahwa kesempatan untuk pergi telah datang. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah keluar dari lift.
Pria bertato itu, masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, mencoba untuk memanggilnya. "heii, tunggu"suaranya terdengar serak, seolah ingin menjelaskan sesuatu, atau mungkin sekadar mengucapkan sesuatu yang tak terkatakan sejak tadi.
Namun, Lia tak memberi kesempatan. Dengan langkah cepat, dia langsung pergi meninggalkan pria itu, tanpa menoleh ke belakang. Rasa campur aduk-antara ketegangan, kebingungan, dan emosi yang baru saja menggelegak-membuatnya ingin menjauh secepat mungkin. Dia bahkan tak memberikan kesempatan untuk menjawab tatapan pria itu, seakan pertemuan di lift tadi hanyalah sebuah mimpi aneh yang harus segera dilupakan.
Pria itu masih berdiri di dalam lift, menatap kosong ke arah Lia yang semakin menjauh, perasaannya terombang-ambing antara apa yang baru saja terjadi dan kenyataan bahwa dia tak sempat mengatakan apa yang ingin disampaikannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Story AdeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang