01. Safety Pin

100 26 110
                                    

Aku menatap bayanganku di cermin, mengangkat cincin dan peniti sebelum menyalakan pemantik, mengawasi api melahapnya dengan malas.

"Enough," aku berkata sendiri, menutup korek dengan ibu jariku dan meletakkan asal-asalan di pinggir wastafel.

Ujung jarumnya tampak semakin tajam sejak lima detik yang lalu, aku mengernyit sambil memperhatikan anatominya. Bentuknya aneh. Runcing di bawah, lalu menggendut secara drastis ke atas. Aku mengangkat bahu saja, lalu membuka bibirku dan menarik napas pendek.

Aku memejam, menengadahkan kepala saat ibu jariku menekan punggung peniti sampai jarum menekan bibirku.

Ujung jarum yang tajam menembus lapisan kulit dan daging, akhirnya keluar lewat sisi yang lain dan menyentuh daguku.

Aku membuka mata, lampu fluoresens di langit-langit berkedip kepadaku. Telapak tanganku sudah digenangi darah begitu aku menunduk, menetes-netes ke wastafel yang putih bersih.

Buru-buru aku menyalakan kran, membasuh semua noda darah itu pergi. Bibirku ngilu dan perih, mengingatkanku untuk segera mencabut peniti dan menggantinya dengan cincin yang sudah steril. Perih yang kedua kali, aku memejam lagi, lalu mengakhirinya dengan tarikan napas panjang sebelum benar-benar mencuci tanganku dengan sabun.





"What's that thing on your mouth?" tanya Daniel.

"Hm?" Aku menjilat piercing baruku. "Ini? My new lucky charm."

"Yang bener aja."

"I'm gonna score fifty on you, mate, liat aja."

"Maksudnya ... kok sempet?"

"Disempet-sempetin." Aku menjilat piercing-ku lagi dan, shit, nggak sengaja kena lukanya. "Watch out," kataku sambil meringis saat cowok itu mendekat, "jangan nafsu gitu, lah, kita masih di camp."

"Jijik, anjing."

Aku menyeringai. Bibirku tertarik, dan aku meringis lagi. Sejauh ini, ini yang paling sakit. Aku melakukan semua piercing-ku sendiri, pelarian saat dikejar-kejar seluruh dunia. Telingaku sudah berlubang banyak, yang tersisa cuma bibir, lidah, dan ... down south.

Sebelum ditanya, ini jawabanku. Satu, ngilu. Dua, aku masih mau beranak sepuluh. Tiga, belum tentu pacarku suka yang ada piercing-nya.

Yang di bibir bisa dilepas kapan saja, sebelum ciuman, misalnya. Yang di bawah? Masa aku harus buka celana dulu? "Bentar, ya, sayang, aku buka celana dulu." Mau dibuka pasang juga aku nggak tega.

Aku memeluk kakiku saat Daniel membungkuk, cowok itu menoleh ke Ricky di sebelah kananku.

"Seleksi boleh ditonton, ya?"

Musim panasku habis di camp all star, perkumpulan first team dari seluruh Indonesia yang akan diseleksi lagi sampai tersisa 24 pemain. Hari ini arrival day-nya, datang cuma untuk mengukur tinggi badan, jari, wingspan, dan med check. Daniel dan aku first team dari BIS, bareng satu lagi point guard-nya SMANSA, Ricky. Dia yang jadi penerjemah karena aku dan Daniel definisi masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Buktinya cowok itu nggak tahu camp ini terbuka untuk umum. Ya, aku juga, sih. Aku VIP di Star-Biz, tempat ini home base-ku, dan nggak pernah sekali pun aku melihat orang sebanyak ini di tribun.

Bibirku perih lagi.

"Boleh, pacarku aja nonton." Ricky menoleh ke arah pacarnya sepertinya menonton. "Cewekmu nggak nonton?"

Aku yang disenggol.

"Tanya dulu punya cewek atau nggak."

"Punya cewek?"

Crash & BurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang