07

588 109 4
                                    

Pagi itu, sinar matahari lembut menyelinap masuk melalui jendela kamar Zeevanya dan Angelica di rumah baru mereka. Hari itu adalah akhir pekan pertama mereka setelah pindah, dan kedua anak kecil itu terbangun dengan perasaan segar. Mata mereka berbinar, dan tanpa merasa lelah atau malas, mereka langsung bangkit dari kasur tingkat mereka.

“Angel, bangun yuk, kayaknya Papa sama Mami masih tidur,” bisik Zee, yang biasa dipanggil Zizi, dengan semangat kepada adiknya yang masih setengah mengantuk.

Angel mengangguk pelan, lalu keduanya dengan hati-hati turun dari kasur. Mereka saling pandang sebentar sebelum memutuskan untuk berjalan menuju kamar orang tua mereka. Kaki-kaki kecil mereka berlari pelan, dan ketika sampai di depan kamar, Zizi mendorong pintu dengan perlahan. Di dalam, mereka melihat Gracio dan Shani masih terlelap, terlihat nyaman di tempat tidur mereka.

“Mami sama Papa masih tidur. Gimana kalau kita nonton TV dulu aja?” usul Zizi sambil melirik Angel.

Angel mengangguk setuju. “Iya, yuk nonton kartun!”

Tanpa suara, keduanya berjalan ke ruang keluarga dan menyalakan TV. Mereka menemukan acara kartun yang sedang menayangkan karakter-karakter lucu yang membuat sarapan pagi, dan itu segera menarik perhatian mereka. Zizi dan Angel berbaring di atas karpet bulu yang lembut, merasa nyaman sambil menonton acara favorit mereka.

Namun, tak lama kemudian, Angel merasa perutnya mulai berbunyi. Ia menoleh ke arah Zizi, lalu berkata, “Kak Zizi, aku lapar. Mereka di TV lagi bikin sarapan... aku pengen sarapan juga.”

Zizi yang juga mulai merasa lapar, mengangguk. “Ayo, kita ke dapur. Cari makan sendiri aja, kayak di kartun!”

Kedua anak itu langsung berdiri dan berjalan menuju dapur. Saat sampai, mereka membuka kulkas dan melihat isinya—hanya ada sayuran, buah-buahan, beberapa kotak sereal, dan susu. Zizi mengernyit, lalu berkata, “Di sini nggak ada makanan kayak di kartun, cuma ada sereal sama susu.”

Angel mengangguk sambil menatap sereal. “Kita bikin sereal aja, Kak Zizi.”

“Setuju,” jawab Zizi. “Aku suka yang ini, sereal favoritku,” lanjutnya sambil mengambil kotak sereal dari rak.

Angel, yang juga mengambil kotak sereal kesukaannya, mengangguk. Keduanya lalu mencari mangkuk kecil yang biasa mereka pakai, Zizi membuka lemari dan mengeluarkan dua mangkuk. Mereka meletakkan mangkuk itu di meja, siap untuk menuangkan sereal.

Saat akan membuka plastik serealnya, Angel menarik dengan terlalu kuat. “Aku bisa buka sendiri, Kak Zizi!” seru Angel dengan antusias, tapi saat itu juga, plastik serealnya sobek dan serealnya berserakan ke lantai.

“Oh-oh...” Angel menatap sereal yang jatuh di lantai, tapi bukannya panik, ia hanya tertawa kecil. “Nggak apa-apa, Kak Zizi! Masih ada banyak!”

Zizi, meskipun sedikit terkejut, ikut tertawa. “Iya, nggak apa-apa. Tapi nanti kita bersihin ya, Angel.”

Angel mengangguk sambil mulai menuangkan sereal ke dalam mangkuknya. Kali ini, ia lebih hati-hati, meskipun masih ada beberapa butiran yang jatuh ke lantai. Setelah itu, mereka berdua mengambil susu dari kulkas. Zizi yang lebih besar berusaha menuangkan susu dengan hati-hati, namun ternyata tidak sebersih yang ia bayangkan. Beberapa tetes susu tercecer di meja dan lantai.

Angel yang melihat itu hanya tertawa. “Kak Zizi, susunya tumpah!”

Zizi mengangguk sambil tersenyum lebar, tak mempermasalahkan kekacauan yang terjadi. “Iya, tapi nggak apa-apa. Nanti kita bisa bersihin.”

Keduanya akhirnya berhasil membuat mangkuk sereal dengan susu, meskipun dapur kini terlihat cukup berantakan. Ada sereal yang berserakan di lantai, susu yang tumpah di meja, dan kotak sereal yang dibiarkan terbuka. Tapi bagi Zizi dan Angel, hasil akhir—mangkuk sereal dengan susu favorit mereka—sudah cukup memuaskan.

The JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang