Pacaran jarak jauh? Kok ada, sih, orang yang bisa bertahan lama dalam hubungan, tapi jarang bertemu? Apa enaknya pacaran cuma ngobrol dan saling bertanya kabar lewat ponsel? Kalau cuma bertanya kabar dan mengingatkan makan, alarm ponsel juga mampu. Kalian tinggal pasang pengingat di waktu yang diinginkan dengan keterangan yang menggoda. Saat waktunya tiba, di layar ponsel akan muncul pemberitahuan yang perhatian banget sama kalian. Alarm bahkan nggak akan berkhianat, paling cuma nggak bunyi kalau lupa isi ulang baterai ponsel saja.
Untungnya, aku punya pacar yang rumahnya nggak jauh, malah keterlaluan dekatnya. Jarak rumah kami nggak sampai sepuluh meter. Kalau janjian bertemu, hanya dengan membuka pintu rumah saja kami sudah bisa melepas rindu. Sayangnya, aku nggak pernah merasakan nikmatnya menelepon pacar sambil duduk di pinggir jendela, lalu saling melambaikan tangan di tengah malam. Om Restu lebih senang datang menghampiriku dan berbicara langsung daripada harus melalui perantara ponsel.
"Bertemu secara langsung dan menghabiskan waktu bersama jauh lebih menarik daripada hanya menatap layar ponsel. Apakah kamu tidak merasakan sakit mata kalau terlalu lama bermain ponsel, Gi? Saya tidak akan pernah sakit mata karena bisa setiap hari bertemu dengan kamu." Itu alasan Om Restu saat aku mengajaknya mengobrol sebelum tidur. "Lagi pula, deep talk lebih menyenangkan dilakukan sambil berpelukan. Untuk hubungan kita sekarang, jelas itu tidak pantas diwujudkan. Kamu harus bersabar lebih lama agar kita bisa bebas berbicara di tengah malam, Gi."
Iya, Om Restu memang sekaku itu. Nggak cuma susunan dan pilihan kata yang terlalu membosankan, tapi aturan hidupnya juga sangat meresahkan. Untung aku sayang. Kalau nggak, om-om tua itu sudah kujual di tukang loak. Aku yakin dengan tampang seperti itu pasti Om Restu punya harga yang mahal.
Aku duduk di ruang tamu rumah Om Restu. Pulang sekolah tadi siang, Gavin memintaku untuk menemani mengerjakan tugas. Sebenarnya, aku nggak yakin bisa membantunya, apalagi PR Gavin hari ini bahasa Inggris. Kosakata dalam bahasa Inggris yang paling kupahami cuma yes, no, dan eating saja. Gimana caranya aku mengajari Gavin yang sekolahnya di SD internasional?
Lagian, kenapa Om Restu harus membayar mahal untuk menyekolahkan Gavin di sana, sih? Memangnya apa bedanya dengan sekolah negeri yang biayanya lebih merakyat? Aku memang harus lebih memahami cara berpikir Om Restu biar nggak terlalu sering berdebat. Nggak lucu kalau kami sudah menikah, tapi setiap hari selalu meributkan hal sepele, kayak menggosok gigi seharusnya dilakukan pertama atau terakhir dalam ritual mandi. Aku tim menggosok gigi itu harus belakangan. Jadi, kalau air mendadak habis, aku nggak akan panik karena badanku sudah wangi. Urusan gosok gigi bisa digantikan dengan berkumur dengan mouth wash saja.
Ruang tamu ini sudah berubah. Foto-foto mendiang istrinya Om Restu sudah nggak ada. Nggak tahu ke mana Om Restu memindahkannya. Sekarang, ruangan ini dihiasi wajah Gavin dan Om Restu saja. Tempat ini menjadi ruangan favoritku di rumah ini. Sendirian begini saja aku merasakan hangat karena masih bisa melihat wajah Om Restu dan Gavin di dalam bingkai. Memang mereka nggak bisa diajak bergibah, tapi senyum tulus yang mereka pamerkan bisa menyalurkan ketenangan dan kehangatan untukku.
Gavin datang dengan tumpukan buku di tangan dan ransel menggantung di pundak kirinya. Dia meletakkan tumpukan buku di meja, lalu duduk di lantai. "Ini tugasnya, Kak." Gavin membuka bukunya. Belum membaca soal yang tertulis di buku saja sudah membuat kepalaku bercabang lima.
Kayaknya aku harus memikirkan cara untuk kabur. Ini demi harga diriku di hadapan Gavin. Jangan sampai Gavin tahu aku ini nggak terlalu pintar. Apa aku pura-pura kesurupan saja biar nggak malu-maluin? Aku bisa mengaku dirasuki kuyang yang masuk angin karena kelamaan keluyuran malam-malam. Angin malam itu memang nggak bagus buat tubuh, apalagi kuyang itu organ dalamnya terpampang nyata tanpa perlindungan sama sekali. Angin malam yang lembab akan langsung meresap ke dalam jantung dan paru-paru Kuyang. Jelas ini bisa menghambat otak kuyang bekerja dengan maksimal. Jadi, wajar kalau kuyang setiap diajak diskusi sering nggak paham. Eh, tapi, emang ada yang ngajakin kuyang ngobrol?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Fuss
Lãng mạnHarusnya, impianku menikah dengan pria yang mapan dan tampan. Nyatanya, aku malah menikah sama duda beranak satu. Iya, sih, suamiku mapan dan tampan. Tapi, mendiang istrinya nggak harus nempel terus di hidup kami dong! Emang aku lebih buruk dari men...