3. Normal Dating

146 10 2
                                    

Ternyata mendapat penolakan cinta dari gebetan itu sakitnya nggak seberapa. Aku baru merasakan kepedihan yang lebih parah dari itu. Waktu tahu Bang Hugo cuma mempermainkan perasaanku saja, perihnya nggak parah begini. Ini kayak aku punya luka dalam yang masih baru, yang darahnya saja masih mengalir deras, tapi ada yang sengaja mengguyur lukanya dengan air jeruk nipis dan segentong alkohol. Beuh! Mantap kali pedihnya!

Lagian, kenapa baru sekarang Gavin bilang nggak mau aku jadi mama barunya, sih? Aku kira selama ini dia diam dan mau main sama aku, artinya dia memberikan sebuah penyambutan yang menyenangkan. Selama ini dia nggak pernah protes aku mesra sama papanya. Gavin juga nggak sedingin tembok es, kayak di awal kami bertemu. Harusnya ini baik-baik saja, kan?

Terus, kenapa Gavin mendadak menolakku menjadi emak barunya, sih? Jangan-jangan dia kesurupan? Apa rumah Om Restu ada hantu anak kecil yang nggak suka sama emak-emak? Wah, aku harus cari ustaz buat rukiah rumah Om Restu, sekalian bapak-anak itu. Pantes saja kelakuan mereka aneh, bapaknya posesif, sedangkan anaknya dingin. Ini pasti karena gangguan setan.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu menjadi selalu cemberut sejak kemarin?" Om Restu bertanya dalam perjalanan kami menuju kampusku.

Gavin baru saja turun. Mobil Om Restu belum meninggalkan sekolah Gavin, tapi suasana di mobil sejak tadi memang suram. Gavin lebih banyak diam. Aku yang mencoba mencairkan suasana canggung, tetap menerima pengabaiannya. Om Restu jelas menangkap ada yang nggak beres dari tingkah kaku kami berdua.

Aku bersandar sambil terus menggigiti kuku. "Gavin nggak mau Gia jadi mama barunya, Om," jawabku lirih. Mengulang kalimat Gavin begini saja membuat luka yang disiram alkohol kemarin nyut-nyutan lagi.

Luka kalau terkena alkohol biasanya cepat kering. Kenapa punyaku malah bernanah, sih?

Mobil akhirnya mulai melaju kembali. Om Restu diam cukup lama. Aku yakin sekarang banyak pikiran nggak baik yang memenuhi kepalanya. Kerutan di dahinya menjadi bukti autentik kalau dia sedang berpikir keras.

"Sepertinya kita butuh waktu berdua untuk membahas hal serius," kata Om Restu. Sebentar dia memandangku, lalu kembali fokus menyetir.

Aku kira dia akan diam lebih lama lagi. Kalau iya, aku sudah berencana jalan-jalan ke Afrika dulu. Kayaknya ngobrol sama singa dan kuda nil lebih seru daripada lihat om-om nggak mau ngomong. Tapi, ngeri juga kalau singanya laper, terus membuka mulut lebar-lebar. Bisa-bisa aku berakhir tragis menjadi makanan pencuci mulut hewan liar.

"Gavin nggak diajak?" Sepenuhnya aku memandang Om Restu. Tubuhnya yang duduk tegap dengan kedua tangan mencengkeram kemudi memang nggak ada lawan. Untung aku punya hak untuk mengaguminya. "Sekarang aja Gavin sudah menolak Gia terang-terangan lho. Gimana nanti kalau kita kencan tanpa dia? Bisa-bisa Gavin demo di gedung DPR, Om. Ya, memang susah suara rakyat didengar sama wakil rakyat. Tapi, Gavin mana ngerti? Dia tetap akan menolak keras pernikahan kita, Om."

Tangan Om Restu menggenggam tanganku. "Tidak apa-apa. Nanti saya yang akan berbicara dengan Gavin. Kamu tenang saja."

Bukannya membuatku tenang, Om Restu semakin menambah beban. "Ih, nggak boleh gitu. Gia ini calon emaknya Gavin. Masa Gia nggak diajakin ngobrol? Gia juga pengin tahu alasan Gavin menolak Gia. Bisa-bisanya Om malah minta Gia nggak khawatir, sih?"

Mobil sudah masuk ke gerbang kampus Merva. Om Restu memilih mencari tempat berhenti lebih dulu, sebelum melanjutkan obrolan. "Kita lanjutkan bicara nanti. Kita perlu waktu kencan berdua. Saya akan mengajak kamu dinner."

Aku sengaja memamerkan mulutku yang menjulur panjang. Aku yakin oarfish yang panjang dan pipih kalah dengan mulutku yang manyun. Kalau oarfish menjadi tanda adanya bahaya di lautan, mulutku yang manyun ini sinyal bahaya di hidupku.

The Wedding FussTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang