Under the Misguided Sky

97 9 0
                                    

*//TW// Suicide//*

Langit malam tampak damai seakan kontras dengan gejolak yang mendidih di dalam dada gadis itu. Perasaan cinta yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi serpihan kepedihan yang tak tertahankan. Minjeong berdiri di tepi sungai, air yang tenang memantulkan sinar bulan dan bintang, namun dalam dirinya tak ada ketenangan sama sekali.

Matanya masih menatap nanar ke arah kejauhan, mengingat saat dia melihat Jimin bersama orang lain. Senyuman yang sama, tatapan yang dulu hanya untuknya, kini diberikan pada orang lain. Kekecewaan itu menusuk lebih dalam dari yang bisa dia bayangkan. Amarahnya meletup-letup, menghancurkan semua sisa logika yang tersisa di kepalanya.

Jika bukan aku, maka tidak ada yang boleh memiliki kamu, Jimin.

Suara Minjeong terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang ditelan oleh angin malam. Namun, tekad di baliknya sangat jelas.

Minjeong menatap pantulan langit di permukaan sungai untuk terakhir kali, matanya yang basah oleh air mata kini dipenuhi oleh bayangan amarah. Dalam genggamannya, ponsel terasa dingin—seperti hatinya yang kini membeku. Ia membuka layar, dan tanpa ragu mengetik pesan terakhir kepada Jimin.

Jari-jarinya bergerak cepat, setiap kata yang tertulis mengandung racun kemarahan yang sudah terlalu lama ia tahan.

"Kamu pikir aku akan diam saja melihatmu bersama orang lain? Kamu salah besar, Jimin. Aku memperjuangkan kamu dengan segenap hatiku, tapi kalau aku nggak bisa memiliki kamu, orang lain juga nggak akan bisa. Ini bukan ancaman, ini janji."

Setelah menekan tombol kirim, Minjeong menghela napas berat, tapi bukan kelegaan yang ia rasakan. Amarah itu masih ada, bergejolak, seakan membakar setiap sudut perasaannya. Ponselnya tetap digenggam erat, seakan menunggu respons yang mungkin tak pernah datang.

Minjeong berjalan menuju kediaman jimin, langkahnya mantap meskipun pikirannya kacau. Malam semakin larut, dan hanya suara angin yang menyapu jalan kosong menjadi teman dalam perjalanannya.

Sesampainya di depan rumah jimin ia berhenti sejenak, menatap pintu yang tertutup rapat seakan menahan semua rahasia di baliknya.

Dengan tangan yang gemetar, Minjeong mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketnya. Di atas kertas itu, tertulis dengan tinta merah, kalimat yang penuh kesakitan, seolah darah yang mengalir dari hatinya sendiri.

Di samping kertas tersebut, ia letakkan setangkai mawar yang telah layu, kelopaknya yang kecoklatan dan rapuh seakan mencerminkan perasaannya yang kini hancur dan tak berdaya.

Selesai meletakkannya, Minjeong menatap pintu rumah itu sekali lagi sebelum melangkah mundur.

Tanpa kata-kata, tanpa isyarat, ia pergi meninggalkan tanda terakhir akan keputusasaan dan kemarahannya. Mawar yang layu itu, kini menjadi saksi bisu dari luka hati yang tak tersampaikan.

Malam semakin tenggelam dalam keheningan, hanya suara deru mesin mobil memecah keheningan jalanan yang sepi.

Perasaan minjeong berkecamuk, amarah bercampur dengan rasa sakit yang tak tertahankan.

Setiap hembusan napasnya terasa berat, tangan yang bergetar menggenggam erat setir, memaksa mobilnya semakin melaju dengan kecepatan yang tak lagi masuk akal.

Dalam pikirannya, hanya ada satu hal : keadilan untuk hatinya yang terluka. Tak perduli dengan apapun lagi termasuk pada nyawanya sendiri.

Baginya kematian menjadi solusi, atau hukuman terakhir bagi jimin untuk menyesali perbuatannya.

Semakin dalam ia pijakan pada pedal gas, dan didepan sana sungai yang ia kunjungi sebelumnya kini tampak membentang gelap, seolah memanggilnya.

Tak ada rasa takut, hanya kehampaan yang menyelimuti dirinya. Dengan satu keputusan yang matang dalam benaknya, minjeong membanting setir ke arah sungai.

Dengan cepat mobilnya meluncur, melewati pagar pembatas dengan suara cukup keras sebelum akhirnya terjun bebas ke dalam air.

Dentuman keras menghantam telinganya, air yang dingin dengan cepat membanjiri mobil, saat mobil mulai tenggelam, satu hal dibenaknya - bahwa kematiannya ini akan menjadi luka abadi di hati jimin. Dengan kematiannya orang yang ia cintai tahu betapa dalam sakit ketika ditinggalkan.

Kabar kematian Minjeong menghantam Jimin seperti badai yang tiba-tiba datang tanpa peringatan. Tangannya bergetar saat ia membaca berita itu di layar televisi—mobil yang tenggelam, lokasi yang tak jauh dari tempat mereka biasa bertemu. Jimin hampir tak bisa bernapas, perasaan sesak menghimpit dadanya. Ia merasa dunianya runtuh seketika.

Sebuah pesan yang belum ia baca muncul di layar ponselnya. Pesan dari Minjeong. Dengan jantung berdebar, ia membuka pesan itu. Kata-kata penuh kemarahan dan ancaman menusuk hatinya lebih dalam daripada yang pernah ia rasakan.

"kalau aku nggak bisa memiliki kamu, orang lain juga nggak akan bisa. Ini bukan ancaman, ini janji."

Air mata mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. Satu per satu kalimat itu menyadarkannya akan kesalahpahaman besar yang telah terjadi. Minjeong berpikir Jimin berpaling, namun kenyataannya, orang yang dilihat Minjeong bersama Jimin adalah sepupunya yang baru tiba di kota.

Jimin terlambat menyadari bahwa kurangnya komunikasi di antara mereka telah menjadi jurang yang tak terjembatani.

Langkah Jimin semakin lemah saat ia menemukan secarik kertas dengan tinta merah di depan pintu rumahnya, bersanding dengan setangkai mawar yang telah layu. Surat itu berisi luapan perasaan Minjeong yang penuh luka dan kekecewaan. Membacanya, Jimin merasa seluruh dunianya hancur berkeping-keping.

Minjeong telah terjebak dalam kesalahpahaman yang begitu mendalam, sebuah kesalahpahaman yang Jimin seharusnya bisa cegah jika saja ia lebih peka dan lebih terbuka.

Semua penyesalan itu kini tak ada gunanya. Pesan terakhir Minjeong terus terngiang di kepalanya—janji bahwa tak ada yang bisa memiliki Jimin. Dan kini, menjadi kenyataan yang paling menyakitkan. Tidak ada yang bisa memiliki Jimin lagi, karena satu-satunya yang pernah dan selalu memiliki hatinya, adalah Minjeong, yang sudah tiada untuk selamanya.

Jimin jatuh berlutut di depan pintu rumah, hatinya hancur, tersapu oleh rasa kehilangan yang tak terobati. Penyesalan membakar di setiap sudut pikirannya, dan kenyataan bahwa ia tak pernah bisa memperbaiki apa yang telah rusak itu terasa terlalu berat untuk ditanggung.

~Oneshoot | Winrina/ Jiminjeong ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang