IV "Facing the Waves"

0 0 0
                                    

Hari-hari berlalu, dan suasana di pondok semakin tegang. Rina, Dika, dan Arya berusaha menjalani rutinitas mereka, tetapi ancaman dari Bapak Rahmat terus menghantui pikiran mereka. Di tengah semua tekanan itu, mereka tetap bertekad untuk melanjutkan perjuangan mereka.

Rina duduk di meja kayu, menyusun dokumen yang mereka kumpulkan untuk Ibu Sari. Sambil membaca kembali laporan-laporan tentang proyek yang dicurigai, dia merasakan semangatnya terbangkit kembali. “Kita sudah mengumpulkan banyak informasi. Kita harus segera bertemu dengan Ibu Sari untuk membahas langkah selanjutnya,” ucapnya kepada Dika dan Arya, yang sedang duduk di dekatnya.

Dika mengangguk, matanya berbinar dengan semangat. “Ya, kita harus menyusun strategi untuk melawan Bapak Rahmat. Kita tidak bisa membiarkan dia terus merajalela tanpa rasa takut.”

“Aku juga sudah melakukan riset tentang latar belakang Bapak Rahmat,” Arya menambahkan. “Dia memiliki banyak koneksi di pemerintahan dan aparat penegak hukum. Ini membuat kita semakin sulit, tetapi bukan berarti kita tidak bisa melawan.”

Setelah menyiapkan semua dokumen, mereka berangkat ke kantor Ibu Sari. Saat mereka tiba, suasana di dalam kantor tampak sibuk. Ibu Sari sedang berbicara dengan seorang klien ketika mereka masuk. “Selamat datang, kalian tepat waktu. Mari kita bahas semua yang telah kalian kumpulkan,” katanya sambil mengajak mereka ke ruang rapat.

Di dalam ruang rapat, Ibu Sari mendengarkan dengan seksama penjelasan mereka tentang bukti-bukti yang telah mereka kumpulkan. “Ini sangat penting. Kita bisa menggunakannya untuk mempersiapkan kasus kita dan memanggil media untuk menyoroti masalah ini,” ucap Ibu Sari, wajahnya serius.

Namun, saat pertemuan berlangsung, ponsel Ibu Sari berbunyi. Dia melihat layar ponselnya dan tiba-tiba wajahnya berubah menjadi pucat. “Maaf, saya harus pergi sebentar. Ini mungkin penting,” katanya, lalu cepat-cepat meninggalkan ruangan.

“Ini tidak terlihat baik,” Dika berkomentar, merasa cemas. “Kita tidak boleh lengah. Kita harus terus bergerak.”

Rina mengangguk. “Kita bisa melanjutkan diskusi ini. Mungkin kita bisa merencanakan beberapa langkah lagi sambil menunggu Ibu Sari kembali.”

Setelah beberapa saat, Ibu Sari kembali, tetapi kali ini dia tampak lebih serius dari sebelumnya. “Kita perlu mempercepat langkah kita. Tadi saya menerima kabar bahwa Bapak Rahmat sedang berencana untuk melakukan serangan balik. Dia tidak akan tinggal diam setelah aksi unjuk rasa kalian,” ungkapnya.

Rina merasa jantungnya berdegup kencang. “Apa yang bisa kita lakukan?”

“Ikuti instruksi saya. Kita harus merencanakan strategi perlindungan, dan kalian perlu tetap waspada,” jawab Ibu Sari. “Saya akan meminta pengawalan untuk kalian. Kita tidak bisa membiarkan mereka menghentikan perjuangan kita dengan cara kekerasan.”

Sementara itu, Rina merasa lebih berani. “Kita sudah berada di sini. Kita tidak akan mundur. Kita harus menghadapi ini.”

Setelah pertemuan tersebut, Rina, Dika, dan Arya kembali ke pondok dengan perasaan campur aduk. Mereka tahu bahwa situasi semakin berbahaya, tetapi semangat mereka untuk melawan ketidakadilan semakin kuat.

Malam itu, saat mereka berkumpul di sekitar api unggun, Rina mulai berbicara. “Kita perlu melibatkan lebih banyak orang dalam perjuangan ini. Kita bisa mengajak media untuk berperan serta. Jika kita bisa menarik perhatian publik lebih luas, Bapak Rahmat tidak akan bisa melakukan tindakan sembarangan,” ujarnya.

“Aku setuju. Kita bisa membuat siaran pers dan menyebarkannya ke berbagai media. Kita juga harus menggunakan media sosial untuk menjangkau lebih banyak orang,” Dika menambahkan.

Arya yang sedang menggambar rencana di atas kertas mendukung ide itu. “Aku bisa membuat grafik dan video untuk membantu menjelaskan situasi ini. Kita perlu membuat masyarakat menyadari apa yang sedang terjadi.”

Bayang Bayang KekuasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang