3. Demi Apa?

122 37 0
                                    

Aku butuh beberapa waktu untuk menyakinkan diri jika lelaki yang keluar dari kamar tadi adalah sosok yang kukenal. Kali ini aku benar-benar yakin jika dialah orang yang sama dengan orang yang kuketahui sebagai dosen baru di kampusku.

Namanya Dewangga. Anak-anak biasa memanggilnya Pak Dewa. Aku benar-benar bersyukur karena dari beberapa mata kuliah yang kuambil, sama sekali tidak diajar olehnya. Tapi apakah semua itu akan menjamin jika dia tidak mengetahui siapa aku? 

Sudah pasti dia tidak mengenalku karena kami tidak pernah bertemu di kelas. Bahkan berpapasan di kampus pun rasanya tidak pernah karena jadwal kuliahku dan mengajarnya yang sepertinya berbeda. Aku merasa cukup tenang karena hal ini.

Aku tidak akan mengkhawatirkan hal tidak penting ini. Ayolah, tidak ada yang perlu dicemaskan, Andari. Ini hanya satu bulan, setelah itu aku akan terbebas dari semua hal menyebalkan ini.

Oh astaga! Rencana tidak masuk akal Kakek ini membuatku mengalami banyak hal yang menyebalkan. Salah satunya adalah bertemu dengan lelaki tadi.

"Non, mengepelnya sudah?" tanya Narti yang tiba-tiba sudah berada di sebelahku. Aku terdiam sambil membalas tatapan matanya.

"Sudah belum ya?" tanyaku seperti berbicara pada diriku sendiri. Karena memikirkan lelaki itu, aku jadi seperti orang linglung.

"Eh ... belum deh kayaknya," kataku lagi. Aku kira dengan bertanya seperti itu, Narti akan membantu menyelesaikan pekerjaanku. Tapi nyatanya dia hanya memberitahu di mana menyimpan cairan pembersih untuk mengepel.

Aku menghabiskan setengah hari ini dengan menyapu dan mengepel. Rasanya sungguh melelahkan, apalagi selama ini aku memang jarang melakukan pekerjaan rumah tangga. Ada banyak karyawan yang akan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga di rumah Kakek yang besar itu sehingga aku tidak perlu melakukan apa pun. Selama ini Kakek selalu memanjakanku dan mengiakan apa pun yang aku inginkan. Tapi aneh, akhir-akhir ini sikap Kakek berubah. Dia selalu saja membuatku kesulitan setiap aku meminta sesuatu padanya.

Napasku terengah dengan seluruh tubuh yang sudah basah oleh keringat. Bagaimana nasibku jika harus melakukan hal seperti ini selama satu bulan? Aku benar-benar menyesal menyanggupi permintaan Kakek padahal kenyataannya saat ini aku sedang mengalami kesulitan.

"Mbak yang lanjutin deh, satu jam lagi aku mesti kuliah," kataku sambil memberikan alat pelku pada Narti. Aku sudah menyelesaikan mengepel area teras kos, tinggal bagian ruang tamu dan dapur lagi.

Narti mengangguk tanpa berkata apa-apa. Aku yakin setelah ini dia akan melaporkan apa yang aku kerjakan hari ini pada Kakek. Menyebalkan. Demi sebuah mobil baru, aku harus menderita seperti ini. 

***

Nyatanya aku terlambat datang ke kampus karena tadi sempat tertidur beberapa saat. Rasa lelah yang tak tertahankan lagi membuatku tanpa sadar terlelap sesaat dan baru terbangun beberapa belas menit sebelum kuliah dimulai.

Dengan jarak kos dan kampus yang lumayan jauh, aku benar-benar terlambat ketika sampai di kampus. Karena tidak ada waktu lagi untuk mencari tempat parkir, aku pun memarkirkan mobilku secara asal di tempat parkir yang disediakan khusus untuk dosen dan karyawan kampus. Sepertinya tidak masalah karena tidak ada satpam yang mengawasi saat ini.

Semuanya gara-gara Kakek. Walaupun sering malas mengikuti kuliah, tapi seumur hidupku menjadi mahasiswa, aku sama sekali tidak pernah terlambat. Ah menyebalkan jika ingat rentetan hal yang terjadi padaku sejak kemarin.

Sebenarnya di semester ini tidak terlalu banyak mata kuliah yang kuambil, hanya beberapa mata kuliah yang mendapat nilai jelek dan kuulang sambil mengerjakan skripsi. Memikirkan tentang kuliah, membuatku kembali memikirkan ancaman Kakek. Aku membuang napas kesal dan segera membawa langkahku dengan tergesa menuju kelas.

Baru kali ini aku merasakan seluruh tubuhku pegal-pegal. Menyapu dan mengepel sialan itu benar-benar membuat seluruh tenagaku terkuras. Aku bergidik ngeri saat membayangkan jika besok dan hari-hari selanjutnya aku masih harus melakukan pekerjaan yang berat itu. Jika seperti itu keadaannya, mungkin dalam waktu beberapa hari aku sudah menyerah.

Aku melirik jam tanganku saat satu demi satu teman-temanku mulai meninggalkan kelas. Baru jam empat sore, masih terlalu awal untuk pulang, tapi ....

"Aku nggak bisa," tolakku saat Lea mengajakku ke pusat perbelanjaan.

"Biasanya kamu yang paling punya banyak waktu luang," ucapnya dengan kening berkerut.

"Ayolah, nggak lama kok. Apa kamu nggak bosan mendengar celoteh Pak Bagus saat kuliah tadi?" tanya yang masih berusaha membujukku. Tentu saja aku bosan, sejak kemarin malah aku merasa begitu bosan sampai ingin marah pada diriku sendiri. Aku terus berada di kos dan mendapat pengawasan dua puluh empat jam dari dua orang karyawan kepercayaan Kakek itu. 

"Ah itu ..., Kakek memintaku untuk pulang cepat karena ada acara," kilahku berusaha memberikan alasan yang masuk akal.

"Tumben banget kamu nurut," ledek yang lainnya saat mendengar ucapanku. Kata siapa aku mau menuruti semua perintah lelaki tua menyebalkan itu, semua ini kulakukan dengan terpaksa dan karena iming-iming mobil baru yang begitu kuidamkan.

"Acaranya penting banget, jadi aku harus ikut." Ucapanku semakin ngawur, dalam hatiku terus berharap tidak ada yang tahu jika saat ini aku sedang terjebak menjadi pekerja di kos milik kakekku sendiri.

"Sana kalian pergi aja," usirku. Aku tidak mau mereka berlama-lama membujukku karena bisa jadi aku akan luluh dan membuat semuanya jadi kacau. Astaga! Kenapa cobaanku begitu berat.

Aku baru beranjak keluar dari kelas saat satu kelas telah sepi. Dengan  menarik napas dalam-dalam, aku pun berjalan dengan perlahan menuju parkiran. Setelah sampai di kos, sudah pasti ada pekerjaan yang menunggu. Padahal kata Kakek, dia akan memberikan kos itu padaku, tapi kenapa dia menyiksaku seperti itu. Kalau memang tidak ikhlas memberikannya padaku, sebaiknya tidak perlu memintaku melakukan hal yang tidak masuk akal ini.

Matahari sore terasa cukup hangat dan membuatku memicingkan mata karena silau oleh sinarnya. Aku menyentuh pintu mobilku dengan perlahan dan bermaksud membukanya saat seseorang yang memarkirkan mobilnya di sebelahku juga melakukan hal yang sama.

Entah kenapa aku malah menoleh dan mendapatkan wajah sombong lelaki yang tadi pagi baru saja mengomeliku di kos. Demi apa aku bisa bertemu dia di sini?(*)

Setelah 30 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang