Kelahiran Bara

26 1 0
                                    

Petang itu di sudut kamar mayat rumah sakit, terdengar lolongan tangis yang mengalahkan tangis bayi yang baru lahir. Ia pernah lahir, dan kini ia terlahir kembali. Tangisan bayi dan tangisan pria dewasa dirasa tak ada bedanya. Sebab ibunya telah mati. Barangkali dulu ketika ia lahir, bayi yang baru saja brojol kemerah-kemerahan dan mengernyit meneriakkan tangis itu tahu bahwa dunia akan menjelma penjahat baginya.

Siang yang panas pada puncak kemarau empat Oktober 1997 itu, seorang bayi dengan berat 3,4 kg lahir dengan bentuk tubuh yang modhot. Sekedipan mata ibunya tahu bahwa bayi itu akan tinggi bongsor mirip dengan ayahnya. Namun, tak satu pun dari semua orang yang bernapas di sekelilingnya tahu persis bagaimana rupa bapak si jabang bayi. Karena sampai akhir hayat si ibu bayi itu, sang bayi yang masih merah itu tak akan mendapatkan kemewahan memeluk bapaknya.

Wanita itu bernama Titiek. Bayi yang langsung menyucup lapar di puncak payudaranya itu ia namai Bara Wirasena. Titiek sempat mempertimbangkan untuk memberikan marga sang bapak. Namun entah bagaimana dan apa kiranya yang Titiek dendamkan sehingga ia tidak sudi menyematkan nama belakang bapak si jabang bayi merah. Semerah bara api. Karena bentuk tubuhnya yang modhot, bayi itu tampak kurus. Padahal ia cukup sehat setelah sembilan bulan hidup di dalam lapisan ketuban.

Pada 1997 itu Bara yang menangis keras akan kembali tenang setelah menemukan dekapan hangat sang ibu dan aroma cairan susunya. Tetapi hari ini, Bara telah kehilangan pelukannya. Dunia terasa lebih dingin daripada hari-hari yang ia habiskan untuk berkemah di puncak pegunungan.

Virus bajingan, negara bajingan.

Sebab tak satu pun yang tahu itu murni sebuah virus yang tak sengaja terlepas atau konspirasi elite global. Bara tidak pernah mendendam sampai hari ketika Titiek mengembuskan napas terakhir di rumah sakit karena terjangkit virus yang⸻katanya⸻mematikan itu. Sehingga membuatnya tidak bisa menggali kuburan ibunya sendiri dengan tangannya karena batasan aturan yang ditetapkan. Sebab mayat-mayat yang hendak dikubur karena virus harus ditangani dengan pengawasan ketat lengkap dengan tetek-bengek APD.

Tidak sekalipun Bara mengenal perasaan terluka dan dendam lantaran kehilangan, bahkan saat kawan-kawannya menghina bahwa Bara lahir tanpa seorang bapak. Tak pernah sekalipun Bara seterluka saat Titiek mati.

Semasa kecil, Titiek selalu berkata bahwa bapaknya bernama Prabu, dan Prabu itu sudah lama mati. Baiklah, Bara tidak peduli. Sebab bapaknya sudah mati. Bara sibuk mengejar layang-layang daripada harus menangisi mereka yang sudah mati. Namun, ketika Bara duduk di bangku Sekolah Dasar, ia menjadi bahan olok-olok kawan-kawannya sebab ia tak memiliki bapak.

Ibumu diperkosa wong gendeng, kata mereka. Dan kemudian kamu lahir tanpa bapak.

"Aku punya Bapak," dengan kepolosan menyedihkan dan naif itu Bara membela diri. Sebab ia sepenuhnya percaya pada Titiek. Ibunya tak mungkin berbohong. "Dia sudah meninggal."

Tidak. Ibumu diperkosa wong gendeng.

Bara tak pernah ambil pusing. Ia bahkan belum memiliki pemahaman bahwa tuduhan itu akan sangat melukainya ketika Bara dewasa. Ketika Bara tahu bahwa itu bukan sembarang tuduhan, terlebih dengan asal-usulnya yang tak jelas. Masa itu Bara hanya berpikir begitulah cara kawan-kawannya bergurau.

Dan baiklah, Bara tidak peduli. Sebab bapaknya sudah mati.

Kemudian saat Bara sudah beberapa kali mimpi basah, yang artinya ia sudah akil baligh, Titiek berkata bahwa Prabu masih hidup. Entah apa yang mengganggu pikiran Titiek saat mengungkap kebenaran itu. Meski sudah bisa mimpi basah, Bara belum bisa menangkap garis besarnya. Apakah Titiek merasa bersalah karena menghalangi Bara menemui bapaknya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BARA: Bajingan yang Dibenci ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang