Pagi harinya, Rin terbangun dari tidurnya dan berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Dia tahu kakaknya, Sae, biasanya pergi bekerja sebelum matahari terbit. Dengan wajah yang masih mengantuk, Rin mengusap matanya yang berat dan membuka pintu kulkas untuk mengambil sebutir telur.
Ketika ia hendak mengambil wajan untuk menggoreng telur, suara Sae tiba-tiba mengejutkannya.
"Kamu ngapain, Dek?" tanya Sae dengan nada lembut.
Rin menoleh dengan sedikit bingung, masih mencoba menyesuaikan penglihatannya.
"Loh, Kakak kok masih di rumah? Nggak kerja?" tanya Rin setelah sepenuhnya sadar.
Sae tersenyum kecil, menggeleng, lalu menjawab, "Enggak, Kakak udah nggak kerja di tempat yang dulu. Kakak dapat pekerjaan baru, tapi dikasih waktu libur seminggu sebelum mulai kerja."
Rin tersenyum senang, karena dia bisa menghabiskan waktu bersama Sae selama seminggu ke depan.
"Kerja di mana, Kak?" tanya Rin, penasaran. Namun, pertanyaan ini membuat hati Sae berdebar.
●◉◎◈◎◉●
Seminggu berlalu, dan kini Sae sedang mengemas pakaiannya ke dalam koper. Dia bersiap-siap untuk pergi. Rin sudah menangis terus-menerus sejak mengetahui bahwa kakaknya akan meninggalkannya dan bekerja jauh di Spanyol.
"Kakak, Rin nggak mau Kakak pergi! Nanti siapa yang masakin Rin, siapa yang peluk Rin kalau Rin mimpi buruk?" tangis Rin semakin menjadi-jadi, suaranya parau dan tubuhnya gemetar di ambang pintu kamar. Air mata terus mengalir di pipinya yang merah.
Sae, yang sedang mengemasi pakaian, terdiam. Tenggorokannya terasa tercekat. Dia terus memasukkan baju ke dalam koper, meskipun hatinya hancur mendengar tangisan adiknya. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, namun suasana sunyi malam itu hancur oleh tangis Rin.
"Kakak! Rin nggak mauuu!!" Rin mendekati Sae, menarik tangan kakaknya dengan erat, memaksa agar Sae berhenti mengemas barang-barangnya.
Sae yang sudah tak kuat lagi, terduduk di lantai, tubuhnya lemas. Dia langsung memeluk Rin erat-erat. Tangis mereka tumpah dalam pelukan itu, seolah mereka tidak ingin terpisah. Sae mengusap rambut Rin dengan lembut, mencoba menenangkan adiknya meskipun hatinya sendiri diliputi konflik.
Beberapa jam kemudian, Rin akhirnya tertidur karena kelelahan setelah menangis seharian. Tubuhnya yang kurus membuat Sae khawatir, karena selama seminggu ini Rin susah makan akibat stres mengetahui kepergian Sae.
Sae menggendong Rin ke tempat tidurnya dan menidurkannya dengan hati-hati. Namun, saat Sae hendak kembali melanjutkan mengemas barang, tangannya ditahan oleh cengkeraman lemah dari Rin yang masih setengah tertidur. Rin seolah tak ingin melepaskan Sae. Sae tersenyum pahit, kemudian perlahan melepaskan tangan adiknya dan kembali ke kopernya.
●◉◎◈◎◉●
Pagi hari di bandara, Sae, Rin, dan Ryusei, sahabat Sae, tiba di terminal keberangkatan. Rin menangis kencang dalam gendongan Ryusei, sementara Sae mencoba sekuat tenaga untuk menahan air matanya.
Suara pengumuman dari speaker bandara menyatakan bahwa pesawat Sae akan segera berangkat. Suasana menjadi semakin emosional.
Sae mendekati Rin, memeluknya dengan erat untuk terakhir kalinya. Air mata Sae akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Dengan lembut, dia berbisik di telinga Rin, "Kakak sayang kamu, Dek. Maaf ya, Kakak harus pergi. Kakak janji, nggak akan lama, Kakak bakal sering kabarin kamu."
Tapi Rin tetap menangis kencang, menolak melepaskan Sae. "Nggak mau, Kak! Rin mau Kakak tetap di sini sama Rin!" isaknya, membuat beberapa orang yang lewat memasang wajah haru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji di Ujung Waktu || Itoshi Brothers
Short StoryKarakter milik Muneyuki Kaneshiro dan Yūsuke Nomura. Bagaimana cerita seorang anak yang baru menginjak usia 16 tahun harus berjuang tanpa orang tua demi membahagiakan sang adik tercinta? Apakah takdir akan berpihak kepadanya atau malah mempersulit...