STRING 0.2

54 10 0
                                    

warn! local-fanfic, or etc; semi-baku

Jika dihitung, entah sudah berapa kali Jian menghela nafas. Pandangannya mengawang menatap gumpalan awan yang beriringan menutup cahaya mentari. Hari kian gelap, pun lambat laun mengantarkan suasana yang kian sunyi, namun gadis itu masih tidak ingin beranjak dari tempat duduknya.

"Gimana?"

Suara yang tiba-tiba muncul di tengah keheningan sontak membuat Jian terlonjak kaget, matanya memicing awas, sedangkan tangannya terangkat naik nyaris memukul sosok yang kini duduk disebelahnya.

"Ngapain?" tanyanya dengan alis terangkat, seolah tidak terganggu oleh sikap defensif Jian.

Jian mendengus, menurunkan kembali tangannya seraya mengalihkan pandangannya dari sosok itu, Bima.

"Gue kira setan," celetuknya.

Bima hanya menggeleng, berusaha tidak tertawa mengingat ekspresi wajah Jian yang cukup menghibur dimatanya.

Sejenak suasana hening menyusup diantara keduanya, hanya terdengar suara desau angin yang sesekali berhembus, meninggalkan jejak dingin saat menyentuh kulit.

"Gimana hubungan lo sama Sadewa?"

Bima kembali melayangkan pertanyaan yang sempat Jian acuhkan karena keterkejutannya, pria itu menatap Jian yang seketika menghela nafas, wajahnya yang semula lesu semakin kusut kala menyadari bahasan yang dibawa oleh Bima.

"Lo gak tau seberapa manipulatifnya cowok itu," seru Jian dengan nada jengkel, tangannya bergerak-gerak serampangan meninju udara membayangkan sosok Sadewa didepannya.

Bima hanya tertawa kecil, punggungnya  bersandar pada bangku taman, sedangkan tangannya saling bersilang di depan dada.

"Lo gimana?" ucap Jian balas bertanya.

Bima tak segera menjawab, pria itu hanya mengedikkan bahunya seolah tidak peduli.

"Padahal gue ganteng, bisa-bisanya diselingkuhin," celetuknya dengan nada bercanda, kepalanya menggeleng dramatis, sedangkan Jian hanya berekspresi aneh, menatap pria itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Akhlak lo jelek kali," balas Jian, tawanya meledak seketika, sejenak melupakan kegundahan yang semula menyelimuti hatinya. Ia mengusap ujung matanya yang sedikit berair karena terlalu lama tertawa. Sementara Bima hanya mendesis kesal, meski senyum kecil tersungging di bibirnya.

"Btw kita belum kenalan, nama lo siapa?" tanya Bima, pandangannya tertuju pada Jian yang masih sibuk menenangkan dirinya setelah tawa panjang tadi.

Jian menoleh sedikit terkejut, tidak berekspektasi seorang Abimanyu Mahendra akan tertarik untuk mengetahui namanya.

"Jiandra, panggil aja Jian," jawabnya kemudian.

Bima mengangguk-angguk.

"Gue Bima," ucapnya turut memperkenalkan diri.

Jian hanya berdeham singkat, mencoba lebih nyaman di kursinya. Pandangannya teralihkan pada lampu-lampu taman yang baru saja menyala, cahaya temaramnya menyinari wajah Jian yang tampak lebih tenang.

"Tau," seru Jian singkat.

Bima menaikkan sebelah alisnya, tak lama sampai tatapan herannya berubah menjadi senyum penuh kebanggaan.

Famous juga gue,” katanya dengan nada bercanda. Jian hanya menggeleng, terlalu malas menanggapi pria itu lebih jauh.

"Btw, hp lo gimana?" tanya Bima tiba-tiba.

Jian menoleh sebentar, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dengan gerakan tenang, memperlihatkannya pada Bima.

"Udah dibenerin," ucapnya santai.

Bima meringis, menggaruk tengkuknya dengan ekspresi canggung, masih merasa bersalah atas kejadian tempo hari.

"Gue gantiin deh uangnya," ujarnya.

Jian menggeleng cepat.
"Gak usah."

"Gue ganti!"

"Gue bilang gak usah, ya gak usah."

"Gak bisa gitu dong!"

Jian akhirnya mendengus, frustasi. Melihat kegigihan Bima membuatnya berfikir tidak ada gunanya memperpanjang perdebatan. Ia perlu memikirkan cara lain agar Bima segera menutup mulutnya.

"Kalo gue gak mau dalam bentuk uang gimana?" tanya Jian kemudian.

Bima tampak sedikit terkejut. Wajahnya menyiratkan kebingungan sebelum akhirnya berubah ragu. Namun, setelah jeda singkat, ia menganggukkan kepala, setuju tanpa tahu apa yang dipikirkan oleh gadis itu.

"Yaudah, asal jangan minta sertifikat rumah aja," ucapnya asal.

Yewon terkekeh geli, ia pun mengulurkan ponselnya pada Bima yang menatapnya dengan heran.

"Gue minta nomer hp lo," ujar Jian tanpa basa-basi.

Bima menaikkan sebelah alisnya, meskipun demikian pria itu tetap mengetikkan nomornya di ponsel Jian.

"Lo naksir gue ya?" celetuknya.

Jian mendengus kesal, mengembalikan ponselnya ke dalam tas setelah menerimanya dari tangan Bima.

"Gak usah banyak omong," jawabnya sewot.

Sontak Bima tergelak, tawa rendahnya mengalun di antara kesunyian, lalu dengan santai menepuk lengan Jian yang sudah siap mencakar wajahnya.

***

"Gue liat Sadewa sama Mira di bar."

Byur

Sederet kalimat yang terpampang di layar ponselnya sontak membuat Jian menyemburkan minumannya. Gadis itu mencoba membaca lamat-lamat pesan singkat yang dikirimkan oleh Bima, berharap penglihatannya mungkin saja bermasalah.

"Bar? gila!"

Jian menggeleng tidak habis pikir. Dengan cepat gadis itu mengetikkan pesan balasan untuk Bima.

"Shareloc."

Tak membutuhkan waktu lama untuk Jian tiba di lokasi yang dikirimkan. Di parkiran, ia melihat Bima berdiri menunggunya, bersandar santai dengan tangan bersedekap dada. Tanpa membuang waktu, mereka pun segera berjalan masuk.

Suasana remang-remang dan dentuman musik yang menggema mendadak membuat Jian pusing. Bau tajam dan menyengat campuran alkohol dan asap rokok menyeruak memenuhi indera penciuman, menambah sensasi asing yang membuatnya sedikit mual.

Jian belum sempat menyesuaikan diri ketika tiba-tiba tangannya ditarik oleh Bima. Umpatan yang sudah menggantung ditenggorokannya terpaksa ia telan kembali saat pandangan matanya mengikuti arah tunjuk Bima.

"Tuh pacar lo."

Jian hanya terdiam, tidak lagi terkejut pada pengkhianatan yang lagi-lagi terpampang di depan matanya. Pemandangan itu menyakitkan, namun tidak membuatnya bereaksi seperti dulu.

"Ayo ke sana."

Suara Bima mengalihkan perhatian Jian. Gadis itu tertegun, mulai tenggelam dalam pikirannya. Ingin rasanya ia melangkah dan mengkonfrontasi Sadewa secara langsung, namun Jian sadar jika ia masih belum memiliki keberanian, bahkan hingga saat ini.

"Sekarang udah waktunya kita ngasih serangan balik."

Jian menatap netra Bima yang memancarkan kilat penuh keyakinan. Bibirnya tersungging miring, sejenak membuat Jian merinding membayangkan entah skenario apa yang tersusun di dalam kepala pria itu.

Seolah tidak memberi Jian kesempatan untuk menolak, dengan cepat Bima meraih pergelangan tangan Jian lalu menariknya begitu saja.

Pada akhirnya Jian hanya bisa pasrah dan mengikuti apapun rencana Bima.

tbc.

1OO4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang