Benang yang Mulai Terjalin

34 1 0
                                    

Salvia Aurelia Lysandra dan Elian Raphael Nagendra, dua nama yang selalu identik dengan kedekatan. Mereka tumbuh di kompleks perumahan yang nyaman dan tertata rapi, di mana tawa, tangis, dan rahasia kecil hanya diketahui oleh mereka berdua. Seiring waktu, persahabatan mereka semakin kuat, seperti benang tak kasatmata yang mengikat hati mereka, meski tak pernah mereka sadari seberapa dalam benang itu telah terjalin.

Hari ini, seperti pagi lainnya, Salvia berdiri di depan rumah Lian. Matahari baru saja terbit dari ufuk timur, memancarkan sinar keemasan yang menyentuh daun-daun pepohonan dan menghangatkan udara. Suara burung berkicau dan deru kendaraan di jalanan membuat pagi ini terasa hidup.

Salvia menghela napas panjang sambil melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul tujuh, dan ia tahu bahwa mereka akan terlambat jika tidak segera berangkat kuliah. Ini bukan pertama kalinya Lian membuatnya menunggu. Sejak kecil, Lian memang terkenal lambat bersiap-siap. Entah kenapa, kebiasaannya itu tidak berubah meski mereka sudah kuliah.

Sebelum ia mengetuk pintu, ternyata sudah dibuka oleh Mama Lian, Yantika.

"Eh, ada anak perempuan mama! Mau cari Lian ya?" tanya Mama Yantika sambil tersenyum.

"Hehehe, iya ma," sahut Salvia cengir.

"Yaudah, langsung aja ke kamar. Mama juga nggak tahu, itu anak udah bangun atau belum," suruh Mama Yanti sambil melanjutkan aktivitasnya.

"Okee mama, siap. Kebiasaan itu anak. Hehehe, canda ma," jawab Salvia, lalu beranjak menuju kamar Lian.

Sambil mengetuk pintu, Salvia berteriak, "Liiaannn! Liii!!! Lo udah bangun belum? Gue gamau telat yaa!"

Tak lama kemudian, pintu terbuka sedikit, dan Lian muncul dengan rambut acak-acakan, mengenakan kaos yang belum dirapikan. Matanya masih tampak mengantuk, seolah baru saja terbangun dari tidur. Salvia tidak bisa menahan tawanya melihat penampilan Lian.

"Serius, Li? Udah jam segini, lo masih belum siap juga?" tanya Salvia, setengah bercanda, meski ada sedikit rasa kesal di balik suaranya.

Lian hanya menggaruk kepalanya dengan malas, lalu tersenyum tipis. "Gue udah bangun kok. Cuma, lo tau kan, badan gue belum nyatu sama jiwa."

Salvia memutar matanya dengan ekspresi sebal. "Alah, alasan lo selalu sama. Susah banget bangun pagi ya?"

Lian menautkan alisnya. "Nggak gitu juga, Sasa. Ini kan bagian dari pesona diri gue."

"Haha, pesona? Lebih tepatnya pesona terlambat!" balas Salvia sambil tertawa.

Tapi meski begitu, Salvia tidak bisa benar-benar marah pada Lian. Ada sesuatu tentang dirinya yang selalu bisa membuat Salvia melunak, bahkan saat dia merasa kesal sekalipun. Kedekatan mereka sudah terlalu lama, terlalu dalam, hingga segala kekurangan Lian sering kali dianggap sebagai hal yang wajar.

"Yaudah, cepat deh. Gue tunggu di bawah," kata Salvia, lalu melangkah menuju tangga untuk turun ke lantai bawah.

Sesampainya di lantai bawah, Salvia melihat dua sosok perempuan yang duduk di meja makan, yaitu Mama Yanti dan Ellena, adik Lian. Salvia segera menghampiri mereka. "Pagi, adekku yang paling cantik," sapa Salvia sambil mengambil tempat duduk di samping Ellena.

"Pagi, Kak Sasa!" jawab Ellena dengan ceria, wajahnya langsung bersinar melihat Salvia. "Kak Lian masih belum siap, ya?"

Salvia mengangguk sambil tersenyum. "Iya, masih santai di atas. Kamu udah sarapan?"

"Udah, Mama masak omelet kesukaanku," jawab Ellena sambil mengangkat piringnya. "Mau coba?"

"Mau dong! Itu favorit kakak juga," balas Salvia dengan antusias sambil mengambil sepotong omelet dari piring Ellena.

Benang tak KasatmataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang