Senyum yang Tak Terucap

16 1 0
                                    

Esoknya, sinar matahari mulai merayap, perlahan menghangatkan udara pagi yang masih terasa sejuk. Salvia menguap, mengusap matanya yang setengah terbuka. "Hadeh, kuliah lagi, kuliah lagi," gumamnya sambil meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Notifikasi pesan dari Nayla sudah menunggu.

"Sal, ntar nongkrong abis kuliah ya! Udah lama nih kita nggak chill bareng."

Salvia tersenyum kecil. Meskipun kuliah seringkali membuatnya lelah, nongkrong bareng Nayla, Novella, dan Syakira selalu jadi momen refreshing yang menyenangkan. Setelah cepat-cepat bersiap, dia keluar kamar dan bergegas menuju pintu gerbang rumahnya.

Begitu dia hendak membuka gerbang, sosok yang tak asing berdiri di sana—Elian, dengan setelan kemeja dan celana berwarna senada, sudah menunggunya. Salvia sempat terkejut melihat sahabatnya itu, karena biasanya dia terkenal sulit bangun pagi.

"Hai cewe. Mau ke kampus bareng gue ya?" sapa Elian dengan nada menggoda.

"Apaan sih! Geli tau, Li," jawab Salvia sambil menggeleng dan bergidik kecil, merasa geli mendengar sapaan konyol itu.

Elian tertawa kecil. "Tumben amat lo udah nangkring di sini pagi-pagi. Kesambet apaan?" lanjut Salvia, terheran-heran karena Elian biasanya suka bangun kesiangan.

"Emang nggak boleh gue dateng pagi-pagi? Harusnya lo seneng, gue kan bisa bangun pagi buat sekali ini," jawab Elian, memasang ekspresi bangga.

"Ya harus bangga banget gitu?" Salvia memutar bola matanya, tapi senyum tipis di wajahnya tak bisa disembunyikan. Mereka memang sering saling menggoda seperti ini, dan interaksi ini selalu membuat pagi hari jadi lebih ringan.

"Udah, yuk berangkat," ajak Elian sambil melangkah di sampingnya.

Dalam perjalanan, mereka mengobrol ringan soal tugas dan kegiatan kampus. Meski topik obrolan terlihat sepele, Salvia merasa nyaman berada di dekat Elian, seolah setiap langkah menuju kampus terasa lebih menyenangkan dengan kehadiran sahabatnya itu.

Sesampainya di kampus, suasana kelas sudah ramai oleh mahasiswa yang sibuk dengan urusan masing-masing. Nayla duduk di depan dengan laptop terbuka di hadapannya, jemarinya sibuk mengetik entah apa. Begitu melihat Salvia dan Elian masuk, dia langsung tersenyum lebar dan menyapa mereka.

"Lo berdua lagi, nggak bosen apa tiap hari bareng terus?" katanya sambil mengerling ke arah mereka berdua.

Salvia hanya tertawa kecil. "Namanya juga tetanggaan, mau gimana lagi?" jawabnya santai, sambil duduk di samping Nayla.

Elian angkat bahu, "Lo bilang gitu seakan-akan kita pacaran aja. Padahal cuma nebeng doang."

Nayla tertawa kecil sambil menutup laptopnya, "Nebeng tiap hari bisa jadi kebiasaan, nanti siapa tau keterusan."

Salvia memutar matanya, "Lo jangan mulai deh, Nay. Udah cukup orang rumah yang ngira gitu."

Tiba-tiba, suara Novella yang khas terdengar dari pintu kelas. "Helloooo, kawan-kawan kuuu!" sapanya dengan volume yang bikin setengah kelas menoleh.

Neil yang duduk di belakang langsung memasang muka masam. "Lo bisa nggak sih, Nov, nggak usah teriak-teriak gitu? Budeg lama-lama gue."

Novella hanya tertawa sambil mendekat ke arah mereka, "Aduh, Neil! Biar semangat dong pagi-pagi! Lo bawaannya lesu banget sih, kayak abis begadang."

"Emang abis begadang gue," jawab Neil dengan nada kesal. "Tugas nyusun proposal nggak kelar-kelar, Nov. Lo juga sih, grup kita ditinggal ngurus yang lain."

Salvia, yang mendengar percakapan itu, tersenyum tipis. "Pantesan si Neil bete mulu akhir-akhir ini. Proposal ya, Neil?"

Neil mengangguk sambil mengusap matanya yang lelah. "Iya, udah hampir seminggu nggak tidur nyenyak gara-gara ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Benang tak KasatmataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang