Sendirian, hanya sunyi yang menemani di tengah gelapnya kamar yang sengaja dia padamkan.
Hanya memeluk dirinya sendiri sembari terisak pelan, menahan suaranya walau terasa sangat menyakitkan di hatinya, pandangannya hanya kosong.
Berharap ada seseorang yang merangkulnya, memeluknya? Jangan berharap lebih nyatanya keluarganya lah yang membuatnya seperti ini, 17 tahun harus merasakan hal seperti ini apakah sanggup.
Sesekali tangan itu memukul kepalanya sendiri bahkan menarik kuat rambutnya kala semua yang di alaminya terus berputar di kepalanya, telinganya begitu berisik dengan suara cacian, cacian yang di lontarkan oleh ibunya sendiri, ibu kandungnya sendiri? Bahkan abang yang menjadi harapan untuknya hanya diam tidak perduli dengannya.
Wajahnya sangat sayu dengan mata yang sangat membengkak, hanya terisak sembari meringkuk memeluk dirinya sendiri yang dia bisa.
Capek? Tentu Kila capek, tapi jalani saja alurnya, kalau gak kuat boleh istirahat kan? Rasanya Kila hanya ingin tidur dengan tenang tanpa terganggu dengan suara berisik di telinganya.
"Bapak? Bapak seperti apa sih, apa yang bapak lakukan sampai aku yang harus nanggung karma sekejam ini, bapak putrimu tidak sekuat itu, aku masih terlalu dini untuk mengerti semua yang terjadi hiks" tubuhnya kembali bergetar, menggigit lengannya sendiri agar tidak ada suara isakan yang terdengar.
"Bapak hiks, boleh gak sih Kila menganggap bapak jahat hiks, bapak dulu yang menginginkan seorang putri bukan? Tapi kenapa bapak justru meninggalkannya menjalani semuanya sendiri, Kila juga pengen merasakan usapan tangan bapak hiks, bagaimana hangatnya pelukan bapak, beda hiks beda, pelukan ayah dan bapak pasti beda hiks, aku capek, entah apa yang membuat aku mau terlahir ke dunia kalau seperti ini, apa yang sebenarnya aku liat, bapak kau liat putri mu ini kan, dia sedang menangis sekarang tapi tidak ada yang memeluknya, boleh gak aku ikut bapak saja? Boleh gak aku menyusul kalian hiks, aku ingin bertemu bu dhe, ayah, bang Afan, berkumpul sama kalian boleh gak pak" ujarnya, hatinya sangat sakit, dirumah hanya ada dirinya sendiri, sedangkan sang ibu entah pergi kemana, dan abangnya masih bekerja.
Sejak kemarin dirinya tidak memakan apapun dan tidak ada juga yang menawarinya makan, dia hanya bisa mengurung diri di dalam kamar karena terlalu takut untuk keluar dan melihat tatapan tetangga nya.
Kamar yang terasa gelap itu menjadi saksi betapa sakitnya dan seberapa keras tangisannya dan seberapa besar keluh kesahnya, dunia sangat tidak adil, aku yang dari kecil menahan rasa iri melihat keluarga teman temanku terlihat bahagia, berbeda denganku yang harus di biasakan untuk mengalah.
Sore harinya, aku membuka mataku yang terasa sangat pedih karena terlalu lama menangis, aku melirik pintu yang berusaha di buka dari luar sedangkan ada tubuhku yang masih menahan pintu tersebut.
Hingga aku mulai bangkit dan membiarkan pintu itu terbuka, aku sengaja menyembunyikan silet yang aku punya.
Entah apa yang di pikirkan abangku sekarang melihat keadaan ku yang mungkin sangat berantakan.
"Nih makan, tak belikan gacoan, tapi level 0, kamu gak makan apa apa, ayo makan tak temeni disini" bang Fahri menarik tanganku agar duduk kembali di atas kasur, memberikan ku satu bungkus mie gacoan, namun hal itu tidak membuat ku luluh karena aku takut itu hanya tipuan.
"Gak ada ibu, jadi aman, cepet habiskan, lalu mandi, jangan kayak gembel seperti ini" ujarnya namun terselip kata yang justru membuat ku sakit mendengar nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa harus aku??
NonfiksiTersenyumlah walaupun kamu tau tubuhmu sedang tidak baik baik saja, di terpa ribuan badai yang kapan saja bisa membuatmu tumbang. Kau kuat dengan kakimu sendiri, teruslah bernafas hingga waktu yang menghentikan rasa lelah mu.