18 tahun silam

241 25 6
                                    

Malam itu, suasana di Mension Utama Salvatore penuh ketegangan. Suara-suara berat para penjaga berteriak melalui alat komunikasi, memperingatkan adanya penyusup yang berhasil masuk ke dalam wilayah keluarga. Lampu-lampu sorot menyala, menerangi setiap sudut halaman besar mension. Langkah kaki terburu-buru terdengar di sepanjang koridor, bercampur dengan suara senjata yang siap diacungkan.

Di dalam kamar utama, Shania Gracia, istri dari kepala keluarga Arshen Salvatore, berusaha menenangkan bayi kembarnya yang baru lahir, Zeeonar azva salvator dan Chris harl salvator. Mereka belum genap berusia satu bulan, dan kini menjadi target dari musuh-musuh keluarga.

"Apa yang terjadi?" tanya Shania, suaranya bergetar.

Arshen berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam penuh amarah. "Mereka mengincar anak-anak kita. Salvatore telah terlalu kuat, dan musuh kita ingin menghancurkan keluarga ini dari akar."

Di luar, suara tembakan pecah di udara, disusul dengan derap langkah yang semakin dekat. Arshen menyuruh Shania mengunci pintu kamar dan segera membawa anak-anak mereka ke tempat aman.

Namun, dalam kekacauan yang semakin memuncak, sebuah celah muncul. Salah satu musuh keluarga berhasil menyusup lebih jauh ke dalam rumah. Di tengah kehebohan, seorang pria bertopeng menyelinap masuk ke kamar bayi, memanfaatkan momen ketika para penjaga sibuk di luar.

Tanpa sepatah kata, ia mendekati Chris, yang sedang tertidur di dalam boks. Gerakan cepatnya membuat suara halus yang hampir tak terdengar. Ia mengangkat bayi itu dalam pelukan kasar dan segera kabur melalui jendela belakang. Tembok besar mension yang biasanya tak terjangkau telah ditembus oleh taktik licik para musuh.

Shania hanya menyadari kehilangannya beberapa detik kemudian, ketika ia kembali ke kamar dengan Zee di lengannya. "Tidak!" teriaknya, ketika ia mendapati boks Chris kosong, hanya tersisa selimut kecil yang tergeletak di sana.

Arshen segera berlari ke arahnya, dengan wajah murka bercampur ketakutan. Mereka segera mengerahkan semua orang untuk mencari. Namun, waktu terus berjalan. Malam berganti menjadi pagi, tapi Chris hilang, tak ada jejak. Musuh membuang bayi tak berdosa itu jauh dari kota, meninggalkannya untuk mati di tengah malam yang dingin di tengah hutan.

Ruangan itu sunyi. Hanya deru napas yang terdengar dari dada Shania Gracia yang sedang duduk di depan jendela besar mansion. Matanya menatap kosong ke luar, seolah pandangannya menembus waktu, kembali ke malam yang selalu menghantuinya. Malam ketika ia kehilangan salah satu anak kembarnya, Chris.

Hampir setiap hari, ia masih mengingat kejadian itu. Setiap sudut rumah ini seakan menyimpan bayangan anaknya yang hilang. Arshen mungkin telah menerima kenyataan pahit bahwa Chris tak akan kembali, namun Shania... hatinya tidak pernah berhenti berharap. Di setiap mimpi, ia melihat wajah kecil Chris—wajah yang telah lama hilang dari hidupnya.

Perlahan, air mata menggenang di pelupuk matanya. Pikirannya terus menggali luka lama, menimbulkan rasa sakit yang tak kunjung sembuh. Dia membayangkan bagaimana Chris saat ini, apakah dia masih hidup? Apakah dia tahu siapa dirinya sebenarnya? Bayangan itu membuat hatinya terasa hampa, seperti ada bagian dirinya yang hilang sejak saat itu.

"Chris..." gumamnya lirih, tanpa sadar menyebut nama anak yang tak pernah ia temukan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki  terdengar di belakangnya, membuyarkan lamunannya. Shania tersentak, cepat-cepat menyeka air matanya dengan ujung jari, berusaha menyembunyikan kesedihannya. Dia berbalik, dan di sana berdiri anak bungsunya, Adelion, yang memandangnya dengan tatapan polos.

"Mom,kenapa?" suara lembut Adelion terdengar, penuh perhatian.

Shania mencoba tersenyum, meskipun perih di hatinya masih terasa. "Tidak, sayang... Mommy hanya... sedang memikirkan sesuatu," jawabnya, suaranya sedikit serak.

Adelion, atau biasa dipanggil adel, berjalan mendekat dan memeluk ibunya. "Kamu kelihatan sedih," katanya dengan polos, kepalanya bersandar di perut Shania. "Apa ini tentang Chris lagi?"

Pertanyaan itu langsung menusuk hati Shania. Meskipun Adel masih terlalu muda untuk sepenuhnya mengerti apa yang terjadi 18 tahun lalu, ia tahu bahwa ada sesuatu yang selalu membuat ibunya bersedih setiap kali nama Chris disebut.

Shania terdiam, jari-jarinya membelai lembut rambut Adelion. "Ya, sayang... Mommy hanya mengingat kejadian itu lagi," gumamnya pelan. "Mommy... hanya ingin dia kembali."

Adel menatap wajah ibunya dengan mata yang penuh pengertian meskipun masih muda. "Mungkin suatu hari dia akan kembali, Mom. Jangan sedih."

Shania tersenyum kecil, meski hatinya penuh kekhawatiran. "Mommy harap begitu, sayang... Mommy harap begitu." Dia memeluk Adel lebih erat, berusaha menenangkan diri dari rasa kehilangan yang begitu mendalam.

Namun, di dalam hatinya, Shania tahu—kenangan itu akan terus menghantui, hingga hari di mana ia bisa melihat Chris lagi. Jika hari itu memang akan datang.

Wahahaha cerita baru lagi

Twins shadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang