argata and salvatore

163 26 2
                                    

Rumah mewah milik keluarga Argata terlihat begitu nyaman. Di ruang tamu, suasana tenang dengan Tian yang duduk bersandar di samping Chika, kakak perempuannya. Udara sore yang hangat masuk melalui jendela besar, membuat suasana semakin damai dan akrab di antara mereka.

"Kak, kakak ngerasa nggak? Muka aku tuh nggak mirip sama kakak, sama Ayah, sama Bunda... kek aku beda sendiri di rumah ini," ujar Tian memecahkan keheningan, menatap Chika dengan rasa ingin tahunya.

Chika menampilkan senyumnya yang hangat seraya merangkul bahu adiknya. "Kamu tuh istimewa. Mau beda, mau sama, kamu tetap adik kesayangannya kakak."

Obrolan adik-kakak itu terhenti sejenak saat kepulangan ayah mereka, Mucho, terdengar dari pintu.

"Asik banget nih! Bunda mana?" tanya Mucho sambil ikut duduk di antara kedua anaknya, membawa aura kebahagiaan di rumah.

"Bunda lagi ke rumah Tante Indah, Yah," jawab Chika, menyempatkan diri untuk menyendok kue yang tersaji di meja.

Mucho hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon atas jawaban Chika.

"Tian, besok ada siswa sama siswi baru di kelas kamu. Bantuin ya, Ayah kayaknya nggak kesekolah besok," ujar Mucho, mengubah topik dengan serius.

Mucho, pemilik SMK Argata yang terletak tak jauh dari rumah mereka, tahu betul bagaimana perannya di sekolah yang dulunya hanya dikenal orang sekitar kini telah menjadi sekolah ternama.

"Siap, Ayahanda! Namanya siapa?" tanya Tian dengan semangat, merasa penasaran.

"Azva sama anak kembar floran dan febri ayah cuma tau namanya. Mukanya Ayah juga nggak tau. Tadi yang daftarin bodyguard-nya, kalau nggak salah,dan ayah lupa liat poto mereka di dokumen." jawab Mucho sambil menyandarkan punggungnya.

"Buset, pakai bodyguard segala. Ini pasti orang kaya," Tian menggoda, senyumnya lebar.

"Emang orang kaya, Dek. Bapaknya aja jadi donatur utama SMK Argata. Jadi, pastikan kamu sambut dia dengan baik, ya," ungkap Mucho, menatap keduanya dengan tatapan penuh harapan.

Mendengar itu, Chika dan Tian saling berpandangan, semangat menyambut kehadiran teman baru di sekolah mereka.

~~~

Mansion keluarga Salvatore tampak sunyi, begitu besar dan megah namun seolah tak ada kehidupan di dalamnya. Hanya bayang-bayang masa lalu yang terasa menggantung di setiap sudut. Taman yang biasanya terawat dengan indah sekarang tampak sepi, dan suara burung-burung yang biasanya berkicau di pagi hari pun tak terdengar. Seolah-olah rumah itu telah lama tak berpenghuni, tenggelam dalam kesunyian yang mencekam.

Zee berdiri di depan pintu besar mansion itu, memandang ke dalam dengan ekspresi dingin, merasa asing dengan tempat yang dulu menjadi rumahnya.

"Apa mansion ini selalu sunyi seperti ini, Floran? Febri? Apa tidak ada yang merindukan aku?" tanyanya dengan nada pelan, tapi penuh kekecewaan.

Floran dan Febri, yang berdiri di samping Zee, saling berpandangan sebelum Floran menjawab, "Papahku bilang tadi, cuma Nyonya Shania yang ada di mansion saat ini. Beliau sedang berada di kamar twins."

Zee mengerutkan alis, memikirkan ibunya yang mungkin masih terjebak dalam kesedihan di ruangan itu. Ruangan yang selalu dihindari semua orang karena menyimpan kenangan pahit.

Tanpa menjawab, Zee melangkah perlahan meninggalkan Floran dan Febri, menelusuri lorong-lorong mansion yang semakin gelap. Setiap langkahnya seolah memanggil kembali bayangan masa lalu, membawa kenangan yang selama ini ia coba lupakan di Amerika. Suasana dingin dan sunyi semakin memperdalam rasa kesepian di hatinya.

Floran dan Febri hanya bisa melihat kepergian Zee, memahami bahwa temannya itu membutuhkan waktu untuk menghadapi kenyataan yang menanti di dalam mansion Salvatore.

"Mom, aku pulang" suara zee terdengar lembut namun penuh kerinduan saat membuka pintur kamarnya,Shania yang duduk di tepi tempat tidur, terkejut mendengar suara itu. Ia berbalik perlahan, matanya langsung bertemu dengan sosok putranya yang telah lama tak ia peluk. Dia menatap Zee dari ujung kepala hingga kaki, seakan ingin memastikan bahwa anaknya benar-benar ada di hadapannya.


Tiba-tiba air mata mulai membasahi wajah Shania. "Zee..." suaranya bergetar, tubuhnya tak kuasa menahan perasaan yang bercampur aduk. Zee, yang melihat air mata ibunya, segera mendekat dan tanpa ragu merengkuh Shania dalam pelukannya yang erat.

"Sudah, Mom... Jangan bersedih lagi. Aku berjanji, aku akan selalu bersama Mommy di sini," bisiknya dengan nada lembut, berusaha menenangkan wanita yang paling ia cintai.

Shania mengusap punggung Zee dengan penuh kasih sayang, merasakan kehangatan dari putranya yang kini telah tumbuh dewasa. "Kau sudah sangat dewasa sekarang, ya. Jika saja kembaranmu ada... mungkin dia sangat tampan seperti diri mu," ucap Shania dengan suara lirih, menyimpan kesedihan mendalam tentang anaknya yang hilang.

Zee terdiam sejenak, merasakan beban yang selalu menghantui dirinya sejak hari itu. "Jika aku bisa memilih, biar aku saja yang diambil musuh waktu itu," batinnya, namun ia tak ingin membuat ibunya semakin bersedih.

"Doakan saja dia kembali, Mom," lanjut Zee dengan suara penuh keyakinan. "Aku selalu berusaha mencari dia sampai kapan pun. Tidak akan pernah menyerah."

Shania hanya bisa memeluk Zee lebih erat, seolah pelukan itu dapat menghapus sebagian rasa sakit yang ia rasakan selama bertahun-tahun.

Suka gak... Kalo gk yaudah sih
Klu suka vote ya

Twins shadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang