Di kantin, Zee duduk bersama Floran dan Febri, menunggu pesanan mereka. Suasana agak tenang sampai Zee tiba-tiba berdiri.
"Gue ke toilet bentar," katanya sambil beranjak.
Setelah Zee pergi, Floran memanfaatkan momen itu untuk mengeluarkan unek-unek yang sudah mengganggunya sejak tadi.
"Feb, lo ngerasa gak? Cowok yang tadi nganterin kita ke ruang kepsek, mirip banget sama Zee," ujar Floran sambil memandang serius ke arah Febri.
Febri mengerutkan kening. "Si kampung yang gangguin gue tadi?" katanya, mengingat kejadian sebelumnya.
Floran menepuk bahu saudaranya. "Yang ganteng, kocak," jawabnya, menggeleng tak percaya.
Febri memutar mata dan akhirnya mengangguk. "Gue liat-liat, emang rada mirip sih. Yang paling kelihatan mirip tuh mata mereka. Tapi ya cuma mirip doang. Gue juga punya yang mirip sama gue, bedanya cuma dia pake kerudung, gue enggak, lo juga mirip sama gue."
"Punya kembaran tapi gak pernah serius," gumam Floran, sedikit jengkel dengan respon santai Febri.
Sementara itu, Zee yang baru keluar dari toilet berjalan santai di koridor menuju kantin. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sekelompok cewek yang menghalangi jalan.
Eliza, yang terkenal tengil dan selalu heboh, langsung maju menghampiri Zee tanpa ragu. "Hy ganteng," sapanya dengan nada menggoda.
Lulu, adik Eliza, menatap kakaknya dengan gemas. "Kak, bisa gak sih sehari aja gak betingkah?" tegurnya, namun jelas-jelas diabaikan.
Zee tidak tertarik dengan interaksi itu. Dengan ekspresi datar, dia berkata, "Bisa minggir?"
Chika, yang berdiri di antara mereka, berusaha lebih ramah. "Kamu Azva, ya?" tanyanya dengan senyum tipis.
"Iya," jawab Zee singkat, tanpa mengulur waktu, lalu berjalan meninggalkan keempat cewek yang masih berdiri di koridor.
Setelah meninggalkan Chika dan teman-temannya di koridor, Zee melanjutkan langkahnya menuju kantin. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang cowok yang tampak berjalan sendirian ke arah taman sekolah. Cowok itu terlihat seperti menyendiri, berbeda dari keramaian.
Zee mengerutkan kening. "Perlu ku selidiki anak itu," batinnya sambil memperhatikan setiap gerakan Tian dari kejauhan. Ada sesuatu tentang cowok itu yang membuat Zee penasaran.
Zee berdiri beberapa detik, mencoba menganalisa dari kejauhan, namun dia tak ingin membuang terlalu banyak waktu. Dia memutuskan untuk membiarkan rasa penasarannya itu, setidaknya untuk sementara.
Sambil menghela napas, Zee akhirnya memutar langkah kembali ke kantin, di mana Floran dan Febri sudah menunggu. Setelah sampai di meja mereka, Zee duduk tanpa banyak bicara, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Namun, pikirannya masih berputar tentang sosok Tian yang baru saja dia lihat.
"Lama amat, Zee," kata Febri sambil mengangkat alis, lalu menyuap makanannya.
Zee hanya mengangguk pelan. "Urusan pribadi," jawabnya singkat, mengambil sumpit dan mulai makan tanpa menambahkan apapun.
~~~
Saat pelajaran Bahasa Inggris dimulai, suasana kelas menjadi sedikit sunyi. Guru mereka, seorang wanita paruh baya bernama Bu nina, mulai menerangkan materi dengan penuh semangat. Namun, bagi Zee, semua ini terasa sangat membosankan. Dia menatap papan tulis dengan ekspresi datar, bahkan tidak mencatat satu kata pun.
"Lagi-lagi ini," batin Zee, mencoba menahan rasa bosannya.
"Aku sudah lebih dari menguasai ini semua." Bahasa Inggris, Spanyol, Rusia, Jepang—bahkan bahasa-bahasa lain yang dia pelajari selama di luar negeri terasa lebih menarik dibandingkan pelajaran ini.
Sementara itu, di sebelahnya, Floran tampak setengah tertidur di bangkunya. Sementara Febri, meskipun sama bosannya, masih berusaha menahan kantuk sambil menatap papan tulis. Tidak jauh dari mereka, Tian dan Jess tampak memperhatikan pelajaran dengan cukup serius, meski sesekali Tian mencuri pandang ke arah Zee, merasa sedikit aneh dengan kehadiran anak baru ini.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka, dan dua murid masuk dengan santai. Salah satu dari mereka adalah Freyana, ketua organisasi di sekolah ini yang sering absen karena kesibukannya mengurus berbagai kegiatan. Sedangkan yang satu lagi adalah Muthiera, atau yang akrab dipanggil Muthe. Kehadirannya selalu membawa keceriaan bagi teman-temannya.
Bu Nina menghentikan penjelasannya sejenak dan menatap kedua murid itu.
"Kalian terlambat lagi," ujar Bu Nina dengan nada tegas.
Freyana hanya tersenyum singkat dan berkata, "Maaf, Bu, tadi ada urusan organisasi."
Muthe, yang selalu ceria, mengangguk setuju dengan alasan temannya, meskipun sepertinya dia hanya ikut-ikutan. "Iya, Bu. Tapi kan gak telat-telat amat, ya?"
Bu Nina menghela napas panjang dan akhirnya mengizinkan mereka duduk.
Saat mereka melewati meja Zee, Floran, dan Febri, Freyana menatap sekilas ke arah Zee, lalu tersenyum kecil. "Anak baru ya? Udah betah?" tanyanya dengan nada santai saat dia duduk di bangkunya.
Zee hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia masih fokus pada pikirannya yang melayang-layang, jauh dari pelajaran yang sedang berlangsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twins shadows
ActionTwins Shadows menceritakan tentang anak kembar Zee dan Chris, putra dari keluarga Salvatore, mafia yang begitu disegani dan ditakuti. Namun, satu insiden tragis memisahkan mereka, membuat keduanya tidak dapat bertemu hingga mereka dewasa. Dalam penc...