permainan ombak

378 15 1
                                        

" ah Hera kau datang kemari atas perintah tuan mu itu ya anjing betina "

Hera terdiam ia meremat tangan nya sendiri,rasa sakit menyeruak di dalam hati.

Laki laki itu melangkah mendekati Hera tangan panjang nya dengan tidak berperasaan mencekik batang leher itu dengan kuat.

Laki-laki misterius itu mendekatkan wajahnya ke telinga Hera, suara desisannya begitu pelan namun penuh ancaman.

"Kau tak lebih dari boneka kecil yang putus asa," bisiknya, dengan nada sinis yang menggetarkan. Cengkeramannya di leher Hera semakin kuat, membuatnya sulit bernapas. Mata laki-laki itu menyala dengan amarah yang terpendam, namun wajahnya tetap dingin, seolah menyukai penderitaan yang ditimbulkan.

Hera menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Namun, tubuhnya gemetar, dan rasa takut membekapnya. Dia tahu laki-laki ini lebih dari sekadar pembawa pesan; dia adalah alat kekuatan yang akan menghancurkan dirinya jika dia tidak hati-hati.

"Aku... aku tidak akan menyerah," desis Hera dengan suara serak, meski tenggorokannya terasa terbakar oleh cekikan yang semakin erat.

Laki-laki itu terkekeh dingin, melepaskan sedikit cengkeramannya namun tetap menatap Hera dengan pandangan yang menakutkan. "Kau berpikir bisa melawan? Kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan... sebelum semuanya hancur di depan matamu."

Laki-laki itu melepaskan cekikannya dengan kasar, membuat Hera terhuyung dan batuk tercekik, berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Namun, laki-laki itu tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, mencengkeram dagu Hera dengan kuat, memaksa tatapan mereka bertemu.

"Aku tidak datang untuk bermain-main, Hera. Kau tak punya pilihan. Tuanmu menginginkan Nyx, dan kau hanya batu loncatan untuk mencapainya." Suara laki-laki itu penuh dengan kebencian yang dingin, matanya memancarkan ancaman yang lebih besar dari sekadar kekerasan fisik.

Hera terdiam, tubuhnya gemetar. Pikiran tentang Nyx melintas di kepalanya, rasa benci dan amarah yang selama ini terpendam, namun juga rasa takut dan keraguan. Dia tahu apa yang diinginkan laki-laki ini, dan itu adalah Nyx — temannya, musuhnya, dan orang yang paling ia benci, namun juga paling ia rindukan. Rasa sakit di leher dan hati bercampur, membuatnya semakin terpuruk.

"Aku tidak...," suara Hera gemetar, namun ia berusaha berbicara. "Aku tidak akan mengkhianati tuanku. Tidak untuk tuanku, tidak untuk siapa pun nyx akan tetap mati dan kau harus menolong ku kau sangat mengetahui tentang nya kau bisa menjadi rekan ku"

Laki-laki itu menyeringai tipis, menarik wajah Hera lebih dekat, hingga ia bisa merasakan nafasnya yang dingin. "Kau tak perlu mengkhianatinya, Hera. Dia akan datang sendiri. Semua sudah berjalan sesuai rencana... Dan kau, kau hanya perlu duduk manis, menonton bagaimana semuanya berakhir buruk untuknya,begitu maksud mu apa yang akan kau berikan untuk ku sebagai imbalan"

Kemudian, dia melepaskan Hera dengan kasar, membiarkan gadis itu jatuh tersungkur ke tanah. Tanpa menoleh lagi, dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Hera yang terpukul di belakangnya, terpaku dalam ketakutan dan kebingungan.

Hera duduk di sana, terisak pelan, namun dalam hatinya, konflik besar sedang berkecamuk. Rasa sakit karena ketakutan dicampur dengan kebencian kepada Nyx, dan kini sebuah pilihan sulit menantinya: akankah ia menyerah pada manipulasi ini, atau akan menemukan caranya sendiri untuk melawan?

______

" Lama lama gw bisa gila ," ucap nya.

Nyx menaikan satu kaki yang terbalut sepatu itu keatas meja ia mendongak menatap langit langit kelas.

Kelas yang sepi.

Nyx menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya ke kursi. Kelas kosong itu terasa hampa, seolah semua suara lenyap kecuali detak jarum jam yang terdengar samar. "Gila," gumamnya lagi, kali ini dengan nada sinis.

Dia menggerakkan kakinya yang masih berada di atas meja, menendang-nendang angin tanpa tujuan, matanya tetap terpaku ke langit-langit. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, tapi dia belum tahu pasti apa itu. Mungkin rasa lelah, atau mungkin perasaan bahwa sesuatu yang buruk akan datang.

"Nyx, fokus," katanya pada diri sendiri, berusaha menghilangkan rasa tidak nyaman yang semakin merambat ke dalam hatinya. Dia tahu ada masalah yang harus dihadapi, Hera, pria-pria di sekitar mereka, dan permainan kotor yang semakin lama semakin rumit. Tapi otaknya seakan lelah memikirkan semuanya. Bagian dalam dirinya hanya ingin berhenti sejenak, membiarkan semuanya menghilang.

Dengan malas, Nyx meraih ponselnya dari atas meja dan membuka layar. Tidak ada pesan penting, hanya pemberitahuan biasa. Namun, sebuah pesan dari nomor tak dikenal tiba-tiba masuk.

"Kau tidak bisa lari dari takdir, Nyx."

Nyx terdiam, jantungnya berdegup kencang. Tatapan dinginnya berubah, kali ini dengan campuran ketegangan. Dia membaca ulang pesan itu, mencoba memahami maksudnya.

"Apa lagi ini?" gumamnya, merasa ada yang mengawasi dari jauh.

Sejenak dia merasa terganggu, tapi kemudian sudut bibirnya terangkat. “Oh, jadi kau ingin main-main denganku, ya?” ucapnya pelan, suaranya berbalut sarkasme. Nyx selalu siap untuk tantangan, dan jika seseorang berusaha memancingnya, mereka akan merasakan akibatnya.

Dengan cepat, Nyx berdiri dari kursi, melepaskan sepatunya dari meja. "Oke, kalau begini permainannya, mari kita lihat siapa yang menang," katanya dengan penuh percaya diri, meskipun ada sedikit keraguan dalam pikirannya.

Namun, dalam pikirannya, bayangan Hera berkelebat. Nyx tidak tahu sejauh mana Hera terlibat dalam semua ini, tapi satu hal yang pasti: jika Hera memilih untuk melawannya, maka tidak akan ada belas kasihan.

Saat Nyx masih terpaku menatap pesan misterius itu, pintu kelas terbuka dengan bunyi decitan yang mengganggu. Tanpa harus menoleh, dia tahu siapa yang datang—Kale.

“Nyx, sendirian? Biasanya kau dikelilingi oleh drama dan masalah,” kata Kale dengan nada sinis, menyeringai sambil menyandarkan tubuhnya di ambang pintu.

Nyx tidak mengangkat kepalanya. Dia tetap memainkan ponselnya, pura-pura sibuk. “Oh, Kale. Kukira kau sudah punya cukup masalah sendiri tanpa harus ikut campur di hidupku,” balasnya datar, tapi penuh sarkasme.

Kale tertawa kecil, melangkah masuk. “Masalah? Aku? Tidak, Nyx, hidupku sempurna. Kau tahu, seperti takdir. Beberapa orang terlahir untuk menang, sementara yang lain... yah, sepertimu, hanya bisa berusaha bertahan.”

Nyx akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Kale dengan senyum tipis yang jelas mengejek. “Pemenang? Itu lucu. Kalau hidupmu sempurna, mengapa kau selalu di sini, mengganggu hidupku yang katanya penuh masalah? Cemburu, ya?”

Kale melipat tangannya di depan dada, mendekat dengan langkah yang penuh kepercayaan diri. “Aku hanya senang melihat betapa kerasnya kau berusaha. Itu... menghibur. Kau tahu, seperti menonton seseorang mencoba berenang di tengah badai. Seru, sampai akhirnya mereka tenggelam.”

Nyx menegakkan tubuhnya, kedua kakinya kini menapak lantai. “Oh, aku tidak akan tenggelam, Kale. Aku justru akan menari di atas ombak. Tapi kau? Sepertinya kau terlalu sibuk berdiri di pantai sambil berharap badai menelanku. Ironisnya, pada akhirnya, kaulah yang terseret ombak itu.”

Kale tersenyum sinis, mendekat sedikit lagi. “Kita lihat saja, Nyx. Pada akhirnya, semua orang yang mencoba melawan takdir mereka hanya akan kalah.”

Nyx berdiri, menghadap Kale tanpa ragu. “Takdir? Itu kata lain dari alasan orang lemah. Aku tidak percaya takdir, Kale. Aku buat jalanku sendiri. Jadi, kalau kau menungguku jatuh, pastikan kau sudah siap melihat dirimu tenggelam lebih dulu.”

Tatapan Kale mengeras, tapi dia tetap tersenyum miring, meski jelas-jelas terprovokasi oleh Nyx. “Kita lihat saja siapa yang akan tersisa saat semua ini berakhir.”

Nyx tertawa kecil, penuh ejekan. “Aku akan tetap berdiri di puncak, seperti biasa. Sedangkan kau? Mungkin hanya jadi bayangan di belakangku.”

Dengan itu, Kale berbalik dan pergi, tapi tidak sebelum melemparkan tatapan tajam terakhir ke arah Nyx. Saat dia keluar, Nyx kembali duduk, kali ini dengan senyum puas di wajahnya.

No One's Doll [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang