- March, 3, 1989/Charing Chross station/London city.Di dalam kereta tua yang bergetar pelan saat melintasi London yang dipenuhi kabut. Patricia duduk di seberang Jona, yang tenggelam dalam buku tua yang penuh dengan catatan kuno.
Di sekelilingnya, Patricia mengatur tumpukan cokelat dengan ceria, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan keheningan Jona.
"Jona, kenapa kau selalu serius? Sesekali tersenyumlah! Hidup ini terlalu singkat untuk tidak menikmatinya."
Tanpa mengangkat pandangan, Jona berucap dengan singkat.
"Aku lebih suka fokus pada hal-hal yang penting."
"Mungkin kamu perlu belajar cara bersenang-senang, Jona?" Patricia kembali bertanya, sembari membuka satu permen berbungkus merah di sebelahnya.
"Seperti ini saja sudah membuatku cukup senang."
"Benarkah? Kau tak merasa terkekang oleh ayahku bukan?"
"Ya. Dan tidak sama sekali!" Kali ini Jona mengangkat pandanganya, beralih dari buku tua menuju ke arah Patricia yang memandang jendela di depannya.
"Mengapa kau selalu meragukanku?" Ia berucap lagi dengan nada yang lebih intens.
"Aku tidak meragukanmu, tetapi kau yang tak pernah mau sedikitpun terbuka padaku." Nada bicara Patricia kini mulai lirih namun, siapapun yang mendengarnya pasti tau kalau ia sedang kecewa.
Alih-alih menjawab, Jona justru menutup bukunya dan menggandeng Patricia, lalu berdiri mengambil koper membawanya keluar dari gerbong kereta.
----•----
Kereta berhenti di Stasiun Charing-
Cross, gerbang menuju berbagai destinasi, dipenuhi dengan kerinduan dan harapan. Penumpang bergegas pergi dan datang, membawa cerita masing-masing.Di antara kerumunan, seorang pengembara muda memegang tiketnya, siap menjelajahi dunia yang lebih luas. Di sudut stasiun, seorang musisi bermain gitar, menyanyikan lagu-lagu tentang cinta dan kehilangan, menyentuh hati setiap orang yang lewat. Wajah-wajah penuh harapan dan kerinduan saling bersentuhan dalam perjalanan mereka menuju tujuan masing-masing.
Dan sekarang, mari kembali kepada Jona dan Patricia.
Mereka berjalan diantara kerumunan orang yang berlalu-lalang, tangan Jona masih setia berada di lengan Patricia, takut kalau gadis itu tertinggal atau bahkan tenggelam di antara kerumunan orang.
"Jo?" Panggil Patricia.
"Jona!?" Kali ini juga tidak ada respon apa-apa dari sang pemilik nama.
"Lenganku sakit." Tepat setelah perkataan itu lolos dari bibir Patricia, Jona langsung berbalik arah menghadap ke arahnya.
"Maaf."
Patricia tersenyum lebar, ini yang ia sukai dari Jona, laki-laki itu memang kaku, tak banyak bicara, dan angkuh. Namun ketika terjadi sesuatu padanya, bahkan mungkin gigitan semutpun, ia akan langsung meminta maaf, padahal terkadang bukan karena kelalaiannya menjaga Patricia, tetapi Patricia lah yang mencari masalah.
Patricia melangkah pelan, mengangkat alis sambil tersenyum.
"Kau tahu, Jona, semakin kau diam, semakin aku ingin tahu. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?"
Jona berdiri dengan tenang, tidak mengalihkan pandangan dari mata Patricia.
"Kau terlalu banyak bertanya, Patricia. Tidak semua hal perlu dijawab."
Patricia tertawa pelan, nada suaranya penuh keisengan. "Tapi bukankah pertanyaan yang tidak terjawab itu justru lebih menggoda?"
Ia menatap Jona tajam. "Kau seperti teka-teki yang tak pernah selesai. Itu yang membuatku terus penasaran."
Jona menatapnya dengan tenang. "Penasaran bisa berbahaya. Kau tahu itu."
Patricia kian mendekat, suaranya rendah dan menggoda.
"Kau selalu membuat segalanya terdengar begitu serius. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya kau pikirkan, Jona. Hanya sekali saja."
senyumnya melebar, tatapannya mendalam. "Apa kau tak lelah menyimpan semuanya sendiri?" Ia melanjutkan ucapanya.
Jona terdiam sejenak, tatapannya tak tergoyahkan. "Lelah tidak ada hubungannya dengan ini. Ada hal-hal yang lebih baik tidak diungkapkan."
Patricia berdiri di sampingnya, menggoyangkan kepala seolah berpikir.
"Atau mungkin kau hanya takut? Takut kalau aku akan melihat siapa kau sebenarnya?"
Jona tersenyum tipis, nyaris tak terlihat.
"Mungkin. Atau mungkin aku melindungimu dari sesuatu yang lebih besar."
Patricia menghela napas, mendekatkan wajahnya ke arah Jona, suaranya lembut namun penuh tantangan.
"Kau tak perlu selalu jadi pahlawan, Jona. Kadang aku hanya butuh teman. Seseorang yang bisa kupercaya. Seseorang yang bisa terbuka padaku, seperti aku terbuka padamu."
Jona menatap Patricia dalam-dalam, suaranya rendah. "Dan jika aku tak bisa memberimu itu, apa kau akan berhenti bertanya?"
Patricia tersenyum manis.
"Tidak pernah."
____To be continue____

KAMU SEDANG MEMBACA
Echoes of London
RomanceDi jalanan yang remang di London tahun 1989, takdir menyulam kehidupan Jona dan Patricia dalam tarian rahasia dan pengabdian. Jona, seorang penjaga bisu yang terikat oleh janji kuno, menyembunyikan hatinya di balik tabir tanggung jawab. Patricia, t...