BAB 1 : Abang di Penjara

0 0 0
                                    

Jakarta 12 Juli 1997.

Matahari sudah terbenam sepenuhnya tetapi masih banyak orang yang mencari sesuap nasi untuk keluarga mereka di rumah. Tahun ini, harga kebutuhan semakin naik. Bisa makan nasi saja, Meraka sudah bersyukur. Di tengah bisingan kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, terdapat seorang wanita yang menggendong tas ransel dan mengenakan baju flanel. Ia sejak tadi menunggu angkot, dan akhirnya angkot yang ia tunggu pun datang. Angkot dengan jurusan Kampung Rambutan itu berhenti tepat di depannya. Dengan nafas berat, ia menghela napas dan memasuki angkot.

Suasana di dalam angkot begitu sesak, dengan aroma bau yang bercampur. "Geser sedikit, Mbak. Anak saya juga mau duduk nih," ucap seorang ibu yang membawa dua anaknya. Satu anak ia pangku dan satunya lagi ia gendong menggunakan jarik lusuh.


"Ibu, Adek pengen duduk sendiri," rengek anak kecil itu. Nada suaranya bercampur dengan tangisan yang sedikit tertahan. Cahaya, yang sedari tadi menanggung ketenangan di dalam angkot, mulai merasa kesal. Ia memandang anak kecil itu dengan tatapan yang sedikit jengkel.

"Mbak sama anak kecil bisa ngalah nggak sih?" sindir wanita itu dengan nada yang sedikit menusuk.

Ia terus menyindir Cahaya yang terlihat tak terpengaruh. Cahaya memilih untuk bodo amat dengan perkataan wanita itu. Ia mengambil buku yang ia bawa dan mulai membaca. Akhirnya, angkot itu berhenti di dekat halte bus. Cahaya mengeluarkan uang dan memberikannya kepada supir.

"Makasih, Mbak," ucap Cahaya dengan nada yang sopan.

Ia turun dari angkot dan berjalan kaki menuju gang gelap itu. Cahaya sangat heran melihat mobil polisi yang terparkir di depan gang. Apakah ada maling atau bandar narkoba yang tertangkap lagi? Begitu pertanyaan Cahaya dalam hatinya.

Saat ia memasuki gang itu, ia mendengar bisik-bisik dari tetangganya. Mereka berbisik-bisik dengan wajah yang penuh kejengkelan. Cahaya mencoba mendengarkan bisikan mereka dengan hati-hati.

"Aku nggak nyangka Rizky sebaik itu. Bandar narkoba," gumam seorang wanita yang diketahui bernama Bu Haji.

Saat melihat Cahaya, mereka langsung berbisik-bisik dengan wajah yang penuh kecewaan. Cahaya merasa bingung. Ia tak tahu apa yang terjadi.

Cahaya mendengar itu langsung berlari menuju mobil polisi. Jantungnya berdebar keras, mencoba menepis bisikan-bisikan negatif yang menyerbu pikirannya. Ia harus memastikan bahwa itu hanya gosip para ibu-ibu saja.

Namun, harapannya kandas saat melihat kakaknya, satu-satunya keluarga yang ia punya, tertangkap polisi. Tangan kakaknya diborgol dengan erat, membuat Cahaya merasa sesak di dada. Rizky hanya menatap adiknya dengan tatapan yang begitu dalam, mencoba menenangkan Cahaya yang terlihat terkejut.

Ia menahan tangisnya. Air mata menggenang di pelupuk matanya, mencoba menahan rasa sedih yang menyerbu hatinya.

"Pak, saya mau pamitan dengan adik saya dulu," ucap Rizki dengan nada yang sedikit bergetar.

Ia mencoba menahan rasa sedih yang menyerbu hatinya. Rizky mendekati adiknya itu dan memeluknya erat.

"Lanjutkan kuliahmu," bisik Rizky dengan suara yang lembut.

Hanya satu kata yang Cahaya dengar sebelum kakaknya pergi di bawah pengawalan polisi. "Kuliah," bisik Rizky dengan suara yang lemah. Cahaya merasa sesak di dada. Ia tak percaya apa yang terjadi. Kakaknya, satu-satunya keluarga yang ia punya, tertangkap polisi.

Cahaya melempar tasnya dengan kasar. Ia tak peduli lagi dengan barang-barangnya. Ia berlari mengejar mobil polisi yang sedang melaju perlahan. Ia berusaha menahan agar kakaknya tak dibawa pergi oleh polisi itu.

"Pak, pasti kakak saya difitnah! Kakak saya tidak mungkin melakukan itu!" teriak Cahaya sambil memohon kepada polisi itu.

Ia berusaha menjelaskan bahwa kakaknya tak bersalah. Namun, polisi itu hanya menjawab dengan nada yang dingin.

"Masih ada persidangan. Di persidangan nanti adalah jawaban dari semuanya," ucap polisi itu.

Cahaya terus mengejar kakaknya dan terjatuh berulang kali. Ia tak peduli lagi dengan luka-lukanya. Ia hanya ingin menjangkau kakaknya.

"Kak Rizki!" teriak Cahaya dengan suara yang gemetar.

Ia menyaksikan mobil polisi itu melaju dengan kencang, meninggalkan Cahaya yang terduduk di tanah. Tangis Cahaya pecah. Ia merasa Tuhan tak adil padanya. Setelah Tuhan mengambil apa yang ia punya, sekarang Tuhan mengambil kakaknya.

"Tuhan, kenapa Engkau tidak adil pada ku?" ucap Cahaya dengan suara yang penuh pilu. Ia merasa dunianya hancur berantakan.

Mereka yang hilang : 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang