Don't forget to vote and comment!
:
:
:"Heh para pengacara! Kalo cuma mau duduk doang, nggak ngapa-ngapain, pulang aja deh sana."
Saga berbicara pada keempat anaknya yang kini duduk berjejer di sofa ruang rawat Bearyl. Ia turun dari ranjang setelah memastikan puteranya benar-benar sudah tidur.
Kesal juga Saga sebenarnya, niatnya mengajak keempat pemuda itu adalah agar bisa memberikan semangat dan menghibur adiknya yang mungkin saja sedang sedih ditinggal sang nenek. Tapi ketika mereka sampai, malah tidak melakukan apapun.
Selama bertahun-tahun mereka tidak pernah datang menemui Bearyl. Ketika Bearyl yang hanya sesekali datang ke Surabaya, malah selalu menghindar dengan banyak alasan punya acara sana-sini.
Kondisi Bearyl saat ini semakin menurun, akhirnya Saga dengan dramatis meminta keempat pemuda itu untuk ikut dengannya. Dia memutuskan untuk pindah ke Jakarta.
Keempatnya mau tidak mau ikut menuruti, lagipula untuk saat ini mereka dalam keadaan tidak ada tanggungan yang perlu diberatkan.
Si sulung mau masuk kerja atau tidak, juga tidak masalah, club basket itu adalah miliknya sendiri. Redy baru saja lulus kuliah dan berencana akan membantu Saga mengurus perusahaan. Sedangkan si kembar baru lulus SMA, sehingga Saga berpikir untuk mereka lanjut kuliah di kota ini saja.
"Yaudah sih siapa juga yang mau dateng? Yuk dah Bi, pulang!" Febi yang memang merasa datang karena terpaksa, segera saja mengajak kembarannya pergi dari ruangan ini.
Bian yang tangannya ditarik keluar, hanya menurut saja. Namun ketika dirinya melewati Saga, "Btw amin ya Yah, cita-citanya si Pebi emang mau jadi pengacara."
Bocah edan, Saga hanya bisa mengelus dada. Maksudnya pengangguran banyak acara, namun cita-cita anaknya memang pengacara sungguhan. Bian dan Febi memang sudah mendaftar di salah satu fakultas hukum universitas yang cukup ternama di sini.
"Dasar Bara-Bere nggak ada tobat-tobatnya," cibir Redy yang masih memperhatikan pintu setelah dua adiknya keluar.
Kemudian dia beralih pada sang ayah, "Ngopi dulu aja yuk Yah, nyari-nyari cemilan."
"Adik kamu?" tanya Saga menanggapi.
Keduanya kompak menoleh pada orang yang dari tadi tidak bersuara. Eka yang ditatap, awalnya tergelak berubah jadi masam. Kemudian keduanya juga dengan kompak mengangguk lalu keluar menuju kantin begitu saja.
Sialan, kini dirinya hanya berdua dengan Bearyl di kamar ini. Malas sekali jika nanti anak itu bangun dan hanya ada dirinya di sini.
Mau bicara apa coba? Dirinya itu kan introvert.
"Eunghh..."
Kan, baru saja dirinya membatin. Anak itu cepat sekali mewujudkannya.
Bearyl bangun dari tidurnya, menggerakkan tangan ingin memeluk orang yang tadi berada di sampingnya. Namun nihil, orang itu tidak ada.
Sedikit membuka mata mendapati kasur di sebelahnya kosong, akhirnya Bearyl mencoba untuk duduk. Matanya menyusuri seisi kamar dan hanya ada Eka saat ini.
"Papah mana?"
Eka yang ditanya dengan tatapan sayu dan bibir yang agak pucat itu sedikit gelagapan.
"P-papah lo ke kantin."
Jawaban apa itu? Kenapa juga dirinya membahasakan ayahnya sebagai, papah?
"Udah, tidur lagi aja," lanjut Eka yang tidak ada ramah-ramahnya sama sekali.
Bearyl mengangguk kecil dengan gumaman yang tak jelas. Tangannya perlahan memegang area perutnya. Ia segera kembali berbaring memejamkan mata, mencoba mengabaikan rasa sakit yang nanti juga akan hilang dengan sendirinya.
"Ber," panggil Eka yang melihat anak itu kini semakin meringkuk tidur membelakanginya.
"Argghh!" erang Bearyl semakin erat menekan area yang sakit itu.
Dirinya tidak ingin memperlihatkan rasa sakitnya di depan Eka saat ini. Namun apa yang bisa ia perbuat? Dirinya selalu saja kalah dengan rasa sakitnya sendiri.
Eka langsung beranjak mendekat ke arah ranjang kemudian menyingkap selimut yang dipakai Bearyl.
Betapa terkejutnya Eka, ketika melihat Bearyl yang kini mencengkram perutnya dengan raut wajah yang sudah dibanjiri oleh keringat. Segera saja ia menekan tombol yang ada di atas ranjang.
Bearyl memejamkan matanya dengan alis yang menyatu, salah satu tangannya di atas perut dan satu lainnya meremas seprei dengan kuat. Ia mengatupkan giginya berusaha untuk menahan air mata agar tidak jatuh karena merasakan kesakitan ini, bahkan urat-urat di lehernya sampai terlihat sedikit menonjol.
Panik dan tidak tahu harus melakukan apa, itu yang dirasakan Eka saat ini. Namun anehnya, diam-diam hatinya berdenyut nyeri melihat anak yang saat ini ada di hadapannya harus menahan sakit sendirian.
"Mas, shhh. T-tolong panggilin p-papah," pinta Bearyl dengan lirih.
Eka menggelengkan kepalanya. Gila saja, tidak mungkin dia meninggalkan Bearyl sendirian hanya untuk memanggil ayahnya.
"Dokter bentar lagi dateng, sama gue aja."
Pada akhirnya air mata itu keluar juga dari ujung matanya tanpa bisa ia cegah lagi. Bearyl menggigit bawah bibir bagian dalamnya dengan kuat agar isakan itu tidak keluar.
"Hiks... Hiks..."
Namun pertahanan Bearyl seketika runtuh saat Eka mulai bergerak mendekapnya. Dirinya menangis menumpahkan air matanya di pelukan sang kakak.
Eka semakin mengeratkan pelukannya seraya memejamkan mata. Hatinya seakan tersayat sakit saat mendengar isak tangis beriringan rintihan kesakitan pilu yang berasal dari mulut adik bungsunya itu.
Setelah beberapa menit menahan sakit yang teramat sangat, akhirnya dokter masuk bersama perawat dan juga Saga di belakang mereka. Pria itu langsung berlari menuju kamar rawat puteranya ketika melihat Dokter Kuncoro, dokter yang biasa menangani Bearyl berjalan dengan tergesa.
Perlahan Eka melepas pelukannya, kemudian mundur dari sana. Ia menatap tangannya, rasanya ini bukan yang pertama kali baginya. Dahulu mendiang ibunya juga sakit seperti Bearyl dan dirinya juga sempat ikut merawat. Namun, jujur saja Eka tidak akan pernah bisa untuk terbiasa.
"Hahh, capek banget gue." Redy baru saja datang, setelah tertinggal mengejar langkah ayahnya.
"Kenapa lo? Muka lo kayak abis naik mobil pake stela," tanya Redy pada kakaknya yang terlihat lemas.
Eka yang ditanya seperti itu langsung mendelik, namun hanya sebentar. Tak ingin menanggapi Redy, padangannya beralih pada Bearyl yang saat ini tengah ditangani.
"Jangan sampai telat makan lagi Beril. Suster Fata bilang, kamu makan siang baru sore tadi."
Bearyl membenamkan wajah murungnya pada lengan Saga setelah mendengar nasehat dan omelan Dokter Kuncoro.
"Nggak usah manyun gitu bibirnya," akhir kalimat yang Dokter Kuncoro katakan sebelum diantar keluar oleh Saga.
Eka yang melihat ayahnya kembali setelah berbincang sebentar dengan dokter itu, ikutan mendekat. Sepertinya obat yang diberikan dokter tadi mulai bekerja, mata sayu adiknya itu sudah mulai terlihat mengantuk.
"Mas Eka..."
Namun panggilan yang keluar dari mulut Bearyl membuat Eka menajamkan telinganya.
Bearyl dengan matanya yang sudah tertutup berucap, "Maaf bikin Mas panik. Makasih ya Mas..."
"Beril sayang Mas."
°⛄
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Matahari No. 3 [HAECHAN ANGST]
General Fictionangst ⚠️ (usahakan follow dulu sebelum membaca ya ♡)