Bab 8

278 47 6
                                    


Don't forget to vote and comment!

Ada info juga di bawah, jangan lupa dibaca ya...

:
:
:

Saga bergegas lari ke dalam setelah mendengar suara jatuh diikuti panggilan dari putranya bungsunya. Keempat pemuda yang tadinya tidak diperbolehkan untuk masuk pun juga ikut dari belakang. Tak lupa, Bian yang ada di posisi terakhir mengambil kertas brosur yang ditempel oleh Saga.

"Astaga Baby! Ngapain sih, tiduran di sini?"

Pertanyaan Saga seketika mendapatkan tatapan heran tak percaya dari keempat anaknya yang lain.

"Paah," panggil Bearyl seraya mengulurkan tangannya agar Saga membantunya untuk berdiri.

Saga dengan cepat meraih tangan itu, kemudian mengusapnya dengan lembut. Walaupun mulutnya mengeluarkan kalimat yang terdengar tidak serius, namun wajah Saga tidak bisa berbohong. Tentu saja dirinya merasa kaget dan khawatir melihat Bearyl jatuh dengan posisi tengkurap dan punggung tangan yang mengeluarkan darah karena infusnya yang terlepas seperti itu.

"Beril pusing Pah. Enggak tiduran, tadi jatoh," ucap Bearyl saat Saga membopong dirinya ke ranjang.

"Red, kamu masih di sini 'kan? Panggilin dokter apa suster, siapa aja yang gercep Red, infus adek kamu lepas." Tanpa menoleh Saga berucap, berusaha tenang masih sibuk membersihkan punggung tangan Bearyl yang terluka.

Redy sedikit terkesiap mendengar perintah ayahnya, kalau dia jadi Bearyl sudah emosi dibilang tiduran di lantai seperti tadi, padahal sudah jelas-jelas jatuh.

Bearyl tahu, ayahnya selalu berusaha bercanda seperti itu untuk menutupi rasa khawatirnya. Lebih tepatnya untuk mengalihkan ketakutan akan sesuatu yang buruk secara jelas terjadi di depan mata. Takut jika Bearyl tiba-tiba celaka, Bearyl sedih dan semakin sakit, dan yang paling menakutkan adalah, jika Bearyl lebih memilih menyerah dan pergi meninggalkan ayahnya.

Bearyl tahu semuanya dan dia bisa merasakannya, maka yang dapat ia lakukan hanyalah menanggapi ayahnya seperti saat ini.

Tidak lama, Redy datang bersama dengan Dokter Kuncoro.

"Beril masih bisa kemo 'kan, Dok?" tanya Bearyl setelah Dokter Kuncoro selesai memasang infus dan memeriksanya.

Mendengar pertanyaan itu, tidak hanya Dokter Kuncoro yang melirik aneh pada dirinya sekarang, ayah dan kakak-kakaknya juga.

"Kalau sudah tidak pusing, kita bisa mulai," jawab Dokter Kuncoro membuat Bearyl tersenyum lega.

"Tuh bocah aneh banget dah. Orang mah harusnya takut di kemo, lah dia malah minta," julid Bian sedikit berbisik pada Febi yang duduk di samping kirinya.

"Kayaknya dia emang bukan orang deh, Bi." Febi menjawab tanpa sadar, membuat dahi Bian mengernyit mendengarnya.

Febi terlihat fokus pada layar ponsel yang ada di tangannya. "Dia beneran beruang kali ya," ucapnya lagi.

Bian menatap sinis Febi, yang saat ini masih fokus pada lockscreen yang menampilkan foto Bearyl tengah tersenyum manis berpose dengan mengangkat kedua tangannya di atas kepala seperti telinga beruang. Dirinya waktu itu secara tidak sengaja juga pernah melihat ayahnya sering memandangi foto itu di ponselnya. Pandangannya lantas beralih pada kedua kakaknya yang saat ini berdiri di samping ranjang Bearyl bersama Saga, juga sedang memandang cemas ke arah anak itu.

Emang udah pada kena pelet bocah beruang semua.

Decakan dari bibir Bian diikuti dengan getar dari ponsel itu yang akhirnya menyadarkan Febi. Seketika dirinya menekan tombol power agar lockscreen itu mati.

Kamar Matahari No. 3 [HAECHAN ANGST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang