1.2.4

38 6 24
                                    

Sepuluh tahun sebelum invasi Dukhan ke Bayu.

Asap mengepul dari cerobong asap sebuah rumah batu bata besar yang terletak di tengah-tengah lapangan luas di kaki gunung. Pohon-pohon tua masih menghiasi hamparan rumput hijau yang membentang luas. Ribuan pria dan wanita tua mengenakan pakaian lusuh tampak mengangkut berkarung-karung padi, berjalan di jalan setapak menuju rumah batu bata besar yang di dalamnya tertata rapi karung-karung beras.

Di sekitar rumah batu bata besar itu, para pria sibuk membangun sebuah menara kayu yang sangat tinggi. Menara itu membentuk kerucut, menuju ke arah langit. Para pembangunnya menaiki tiap-tiap anak kayu di sisi-sisi menara, memalu bagian-bagiannya.

Tak jauh dari menara kayu yang dibangun, di dekat pohon-pohon, tampak para pria lainnya saling membopong kayu-kayu jati besar hasil tebangan mereka. Di sisi lain, para pria lain tampak memotong kayu jati dengan gergaji. Mereka semua bekerja keras hingga peluh menghiasi wajah dan leher mereka.

Di balik kerja keras itu, para pekerja masih harus mengantri demi secentong kaldu bubur untuk sarapan. Waktu yang telat untuk mengisi perut setelah banting tulang, ketika terik matahari telah berdiri dengan berani.

Di dalam sebuah bangunan dengan atap terbuka, tempatnya tak bersih juga tak kotor karena belum berlantai, seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam yang tergelung ke atas seperti punuk unta serta balutan baju serba panjang warna ungu kehitam-hitaman berdiri di ujung tempat itu. Ia berdiri menghadap sebuah kompor besar yang tengah memanaskan kuali besar berisi bubur. Ia mengambili centong demi centong bubur untuk ia tuangkan pada cawan-cawan yang disetorkan para pekerjanya. Antrean demi antrean berlangsung hingga matahari perlahan kehilangan terang sinarnya, hingga bubur di dalam kuali terkuras habis, tak menyisakan setitik pun.

"Kau terlambat lagi, dasar lelet!" Ucap wanita itu saat seorang gadis kecil dengan baju dekil menatapnya lugu dengan memegang sebuah cawan kosong.

Gadis kecil itu terdiam lesu saat mendapati dirinya tak mendapatkan bubur terakhir.

"Tidak adakah makanan lain untukku?" Tanya gadis itu.

"Aku bukan penyihir yang bisa memberimu makan sesuka hati. Kau di sini bekerja di peternakanku. Bila kau tidak disiplin, kau harus tahu konsekuensinya. Syukur-syukur aku masih memberimu pekerjaan." Ujar wanita itu dengan dingin seperti biasa. Ia berusaha bersikap profesional selagi sebenarnya ia sangat jijik untuk menanggapi pertanyaan gadis kecil dekil itu.

Gadis kecil itu tertunduk. Dengan pasrah, ia membalikkan diri, lalu beranjak meninggalkan tempat itu. Perutnya berbunyi, ia memang seharian belum makan. Sejak pagi ia berjalan ke sana-kemari untuk mengangkat berkarung-karung padi dari sawah. Tenaganya yang masih terlalu lemah dibanding para pekerja lainnya yang telah dewasa membuatnya sering terlambat dan akhirnya selalu tertinggal jatah makan.

Meski begitu, ia masih bersyukur mendapatkan tiga biji kuk untuk meminta secuil roti dari siapapun yang bisa ia pinta. Ia sampai harus mengemis dari rumah ke rumah, terkadang sampai harus ditendang dan dilempari air bekas cucian yang keruh. Bahkan saat setiap hari dirinya dilanda demam pun ia masih harus menahannya. Orang-orang di tempatnya bekerja sering mendapatinya pingsan karena daya tahan tubuh yang lemah.

Ishara, gadis kecil itu.

Di masa-masa sulit yang harus ia hadapi, terkadang para pria pemabuk di tempat makan mempermainkannya. Kedua tangannya dibelenggu ke belakang dan dia dipaksa menjilat ke arah meja, di mana sebuah piring berisi satu biji kacang kecil diletakkan di sana. Para pria itu mengolok-oloknya dan menertawainya. Terkadang mereka menyentuh beberapa anggota tubuhnya dan memaksanya mengerang dan meronta-ronta.

*

Delapan tahun sebelum invasi Dukhan ke Bayu.

Para Pemandi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang