1.2.3

44 7 17
                                    

Secercah sinar rembulan menyorot masuk ke lubang dinding ruangan yang terbuat dari batu gunung. Sebuah kolam dengan pipa bambu mengaliri air, bersama dengan kabut yang mengitari kolam. Hawa di dalam sana tidak dingin, malah terasa panas. Rupanya di dalam kolam itu telah diisi dengan belerang.

Di sebelah kolam, berdiri Ishara dengan telanjang bulat. Tampak jelas luka-luka di sekujur tubuhnya, baik luka sayatan, luka tusuk, lebam, nanah, jamur, kadas hingga ruam merah. Dari raut muka pucat dan postur tubuh berototnya yang lemas serta bibir pecah-pecah dengan banyak sariawan, ia menahan segala rasa sakit yang mencabik-cabik setiap sisi tubuhnya.

Ditemani Purut yang duduk di sebelah kolam sambil menaburi bunga-bunga pecah piring. Setelah jumlah bunga yang telah terendam di kolam belerang itu terasa cukup, Purut bangun dari duduknya dan menghadap Ishara. Keempat mata dua wanita itu saling menatap.

"Selama seminggu ini, kamu mandi belerang ya supaya luka-luka di tubuhmu sembuh." Ujar Purut tersenyum ramah sembari membelai rambut pendek Ishara itu.

Ishara terdiam. Ia tak menyangka sepasang suami isteri yang menampungnya kini teramat baik padanya, bahkan peduli dengan penyakit kulit menjijikannya serta luka-luka mengerikan yang menghiasi tubuhnya.

"Tuh Iyan, Nduk, kamu kok betah nyandang badan serusak ini. Kamu pasti kuat, tapi sakitnya memang bukan main. Nah wong suamiku yang kena kutu air sama mata ikan di kaki kalau habis ngurus sawah aja sambat terus padahal salep racikanku buat dia biasanya manjur, dua atau tiga hari gitu sudah sembuh." Ujar Purut masih membelai rambut Ishara dengan lembut.

Ishara tak tahu harus membalas apa. Ia hanya diam. Namun di hatinya, ia tentu sangat bahagia. Sepanjang hidupnya, bila dihitung sejak masa kecilnya, ia selalu mengharapkan memiliki keluarga meski setiap kali ia mendatangi sebuah keluarga, mereka menendangnya. Ia takjub dengan kebaikan sepasang suami-isteri ini, padahal mereka baru bertemu namun ia mampu merasakan dari lubuk hatinya yang paling dalam kalau sepasang suami-isteri ini memang berhati mulia.

"Sekarang mandilah ya, aku keluar buatkan kamu salep. Nanti selesai mandi, kamu langsung masuk ke kamar yang ada di sebelah dapur." Ucap Purut tersenyum.

Ishara mengangguk pelan, menurut lalu melangkahkan kaki perlahan hingga kaki kanannya pertama kali menyentuh permukaan air kolam yang begitu hangat. Ia tahu akan sesakit apa nanti luka-luka di tubuhnya bila ia masuk ke dalam kolam yang tampak terebus itu, namun ia yakin kolam itu akan menyembuhkan luka-lukanya.

Purut beranjak keluar ruangan dan menutup tirai.

Mendapati dirinya kini sendirian, dengan kedua mata yang menatap baik-baik kolam belerang yang hendak direndaminya, ia menarik napas sejenak lalu masuk perlahan ke dalam kolam, merasakan setiap kehangatan air yang kini merabaik sekujur tubuhnya. Meski awalnya sangat perih, namun semakin lama ia berendam rasanya berubah nikmat. Kehangatan itu sangat merilekskan pikirannya. Betapa leganya ia mendapati kenikmatan ini. Ia tak pernah menemukan yang seperti ini di Dukhan.

*

Berbalut kemban yang hanya sampai bawah pantat, Ishara memasuki sebuah kamar yang sebelumnya ditunjukkan oleh Purut. Di sana Purut telah menunggunya dengan secawan salep dan gulungan-gulungan perban putih.

"Sini, Nduk, biar ku obati luka-lukamu." Ucap Purut.

Setelah mandi belerang itu, luka-luka di tubuh Ishara memang belum sepenuhnya sembuh, namun bagaimanapun luka-luka butuh proses pengobatan yang panjang, setidaknya dengan perawatan rutin.

Ishara pun membuka kembannya, membiarkan Purut mengoleskan salep ke setiap lukanya.

"Apa kau tidak takut tertular?" Tanya Ishara. "Nanah bisa menular melalui kontak langsung." Tambahnya.

Para Pemandi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang