1.3.4

23 2 1
                                    

Aula pengadilan masih diisi dengan keheningan, membiarkan sosok pria tua bernama Kunto berdiri di bangku saksi, mengungkapkan segala kesaksiannya pada para hakim yang masih serius menyimaknya.

"Apa kalian tahu kenapa dia melakukan percobaan bunuh diri?" Tanya Kiai Biting.

"Dia merasa tak memiliki tujuan hidup lagi." Jawab Kunto. "Ketika kekuatannya pulih, dia membantu mengurus ternak kami," tambahnya. "Aku dan isteriku sudah tua, jadi kami menyambut baik bantuan darinya."

"Kau dan isterimu tidak mengkhawatirkan nyawa kalian saat menampungnya di rumah kalian?" Sahut Kiai Jenar.

"Dia mengalami depresi berat. Dia terus dihantui oleh mimpi buruk tentang masa lalu kelamnya." Ujar Kunto. "Kami tahu kebaikannya, dia sama sekali bukan iblis jahat seperti yang dibicarakan orang-orang."

Kiai Biting mengangguk, lalu ia tampak saling berdiskusi dengan pelan pada Dyah Soraya dan Kiai Jenar di samping kanan-kirinya. Tak lama setelah itu, Sang Kiai mengangguk, ia lalu mengangkat tangan kanannya tak terlalu tinggi, ia arahkan ke depan. "Penjaga, bawakan bukti yang ditemukan di tempat kejadian."

Dua orang pria yang berjaga di pintu pun menganggukkan kepala, lalu mereka beranjak pergi mengambilkan sesuatu yang dimaksud Kiai Biting.

"Mbah Kunto, pengesahanmu sudah selesai. Kau boleh duduk." Ucap Kiai Biting pada Kunto.

Pria tua itu pun beranjak dari bangku saksi dan berjalan pelan menghampiri tempat duduk isterinya, Purut.

Tak berapa lama, dua orang pria yang baru saja keluar, masuk kembali sembari membawa sebuah nampan besar bertutupkan kain kuning kecokelatan. Ukuran nampan yang besar sampai harus dibawa oleh dua orang itu menunjukkan bahwa isi di dalamnya sangat berat. Mereka lalu meletakkan nampan itu di atas meja para hakim, salah seorang dari mereka membuka kainnya dan tampaklah bongkahan-bongkahan logam berwarna hijau dengan ukiran-ukiran aksara tak beraturan.

Ishara terkejut saat mendapati bongkahan-bongkahan logam itu. Ia masih diam di kursi tempatnya duduk. Lagi-lagi ingatan itu muncul di kepalanya, seorang pria tua telah berlumuran darah oleh serpihan-serpihan logam itu, serpihan-serpihan dari pedangnya.

Dua orang pria penjaga yang mengantarkan bongkahan-bongkahan logam itu pun menganggukkan badan sejenak sebelum kembali ke pintu.

Dyah Soraya bangun dari duduknya lalu menunjukkan sebuah karung kecil yang tersusun oleh jahitan benang transparan, memperlihatkan isi di dalamnya: Tampak sebuah serpihan kecil yang menyerupai remai batu dengan warna serupa. "Aku menemukan serpihan ini di otot leher Kiai Muria saat aku menguji jenazahnya."

Para hadirin di dalam ruangan mulai saling berbisik.

"Dan, logam-logam ini juga ditemukan di kuil saat Kiai Muria meninggal dunia." Dyah Soraya mengatakannya dengan nada bicara lantang, lalu ia kembali duduk dengan tegap, tentu tak lupa mengangkat kepalanya.

Tak berapa lama, seorang pria mendatangi meja hakim lalu meletakkan sesuatu yang terbalut kain putih.

Kiai Jenar yang berada tepat di hadapan benda berbalut kain putih itu pun membukanya, tampak sebilah pisau dengan sarung yang ukurannya jauh lebih besar dari dua kapak untuk menebang pohon randu. Ia yang penasaran pun hendak menyentuhnya, namun ia tak bisa menyentuhnya. Seperti ada sebuah magnet penghalang.

"Ini adalah senjata milik wanita Dukhan yang kami temukan saat menggeledah isi rumahnya. Bilah pisau ini telah dilapisi sihir hitam, Kiai. Tidak sembarang orang bisa menyentuhnya. Kami mendapatkan bantuan dari para elemin untuk membawanya kemari." Ujar pria yang masih berdiri di dekat meja para hakim itu.

Mendapati ujaran pria itu, Kiai Jenar pun menyentuh kain putih yang membalut tubuh bilah pisau dan sarungnya itu, lalu ia mengangguk paham: Kain putih itu adalah kain khusus yang terbuat dari ulat pala¹⁵, membuatnya tahan terhadap sihir hitam apapun, sehingga siapapun bisa memegang bilah pisau itu dengan balutannya.

Para Pemandi BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang