Tak terasa, akhir pekan pun tiba. Azure terbangun dengan perlahan, menikmati hangatnya selimut yang masih membalut tubuhnya. Ia melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Hari ini adalah akhir pekan, dan ia merasa senang karena tidak ada rencana atau pekerjaan yang harus segera dikerjakan. Ia berbaring sejenak, menikmati momen tenang yang jarang ia rasakan.
Di tengah-tengah ketenangan itu, ponselnya berbunyi. Azure meraih ponsel dan melihat pesan dari Eric.
"Apa kau punya waktu? Aku ingin mengajakmu ke taman hiburan."
Azure menatap pesan itu sambil berpikir. Rasanya baru kemarin ia menolak ajakan Eric untuk makan malam, dan sekarang ia diundang lagi untuk pergi bersama. Tiba-tiba, suara itu muncul lagi di kepalanya—suara anak laki-laki yang mulai terasa familiar dan tak asing lagi.
"Lebih baik kau mengiyakan. Lagipula, kau sudah menolak ajakan makan malamnya kemarin."
Azure tersenyum tipis mendengar saran dari suara tersebut. Ia mulai terbiasa dengan kehadiran suara anak laki-laki itu, seolah-olah suara itu selalu tahu apa yang harus ia lakukan di saat-saat ia ragu.
"Apa kau punya alasan lain?" gumam Azure dalam hati, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
"Tidak, tapi kau butuh istirahat dan sedikit hiburan. Lagipula, siapa tahu ada hal menarik yang terjadi di sana," jawab suara itu dengan nada penuh misteri.
Azure berpikir sejenak, lalu mengetik balasan untuk Eric.
"Baiklah, ayo pergi ke taman hiburan," balasnya.
Tak lama kemudian, pesan balasan dari Eric muncul.
"Bagus! Aku akan menjemputmu dalam satu jam."
Azure bangkit dari tempat tidurnya, bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap-siap. Setelah mandi, ia memilih pakaian yang sederhana namun rapi, dan memutuskan untuk mengenakan kalung berpermata biru yang ia dapatkan dari anak laki-laki misterius di galeri seni beberapa waktu lalu. Ia mengenakan kalung itu dengan hati-hati, merasakan kembali energi hangat dan menenangkan yang selalu muncul saat ia memakainya.
Sebelum keluar, Azure berdiri sejenak di depan cermin, memperhatikan bayangan dirinya. Kalung itu berkilau di bawah cahaya matahari yang masuk dari jendela, memberikan kesan misterius yang seakan sejalan dengan apa yang ia rasakan akhir-akhir ini. Azure menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri sebelum akhirnya menuju pintu dan keluar dari apartemennya.
Di luar, Eric sudah menunggunya dengan senyuman di wajahnya. Mereka saling menyapa, lalu berjalan bersama menuju mobil. Sepanjang perjalanan, Azure masih terus memikirkan suara anak laki-laki itu, merasa penasaran tentang bagaimana ia bisa mendengar suara yang tak terlihat namun seakan begitu nyata.
"Jadi, apa ada hal lain yang kau sukai, Azure?" tanya Eric dengan antusias memecah keheningan di antara mereka.
Azure berpikir sejenak, lalu menjawab, "Bukankah kau sudah tahu? Aku sangat suka seni."
"Ya, itu benar. Tapi aku penasaran, apa ada hal lain di luar seni yang kau nikmati?" Eric membalas dengan senyuman, tampak ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.
Azure mengangguk. "Hmm, aku juga suka membaca. Buku-buku tentang petualangan dan misteri sangat menarik bagiku. Mereka bisa membawaku ke tempat-tempat yang belum pernah kutemui."
Eric menoleh sekilas ke arah Azure, terpesona oleh semangatnya saat berbicara tentang hal yang disukainya. "Kau tahu, aku pernah mendengar bahwa seni bisa menjadi jendela untuk memahami dunia, dan buku-buku adalah pintu untuk memasuki dunia lain. Keduanya sangat menarik."
"Benar sekali," jawab Azure, tersenyum. "Seni dan sastra memiliki cara masing-masing untuk menyampaikan cerita. Dan aku merasa terhubung dengan keduanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Azure Moon : The Veil of Shadows
FantasyAzure Moon, seorang pewaris muda yang cerdas dan cantik, menjalani hidup yang sepi meskipun dikelilingi oleh kekayaan dan tanggung jawab besar. Saat sebuah kalung misterius tiba-tiba memasuki hidupnya, Azure terjerat dalam petualangan penuh bahaya d...