Semua terjadi dengan tiba-tiba, membuatnya sulit untuk menerima kenyataan pahit ini.
Sudah dua bulan berlalu, selama itu pula Wanidya tidak masuk-masuk sekolah. Dia bahkan terang-terangan menghindari teman-teman kelas yang berniat berkunjung ke rumah.
Entah sudah surat panggilan ke berapa dari pihak sekolah yang ditujukan kepada gadis itu. Kalian bisa bayangkan, dua bulan tidak pernah menampakan batang hidung tanpa keterangan yang jelas. Orang-orang mungkin telah berasumsi bahwa dirinya memutuskan untuk pindah sekolah atau bahkan putus sekolah.
Namun, hari ini Wanidya sudah berpikir matang-matang dengan keputusannya untuk kembali masuk sekolah. Dia sudah siap menerima, apabila pihak sekolah mengeluarkan atau memberikan surat pengunduran diri.
Gadis itu menarik lebar senyumannya di depan cermin. Memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Semangat Wanidya! Aku pasti bisa! Ingat! Terima dengan lapang apapun keputusan dari sekolah!” pekik Wanidya yang sedang berusaha menyemangati diri sendiri. Walau nyatanya semua itu juga tidak dapat menutupi keresahan di dalam hatinya.
Pergi menuju sekolah dengan menggunakan bus sekolah, membuat Wanidya kembali teringat momen setiap pagi, dirinya diantar ke sekolah oleh sang Papa. Gadis itu menghela nafas memfokuskan pandangan ke arah jendela samping yang memperlihatkan deretan bangunan gedung bertingkat.
Bus ini disiapkan khusus dari sekolah untuk siswa maupun siswi SMA SRAGEN. Sepanjang perjalanan Wanidya berdiam diri, mengabaikan suara-suara teman sekitar. Lagi pun gadis itu tidak memiliki teman duduk di sebelahnya yang dapat diajak berbincang, bahkan dirinya tidak memiliki teman dekat satu orang pun. Ia memilih duduk di kursi paling pojok belakang yang jarang di tempati, karena orang-orang lebih memilih untuk duduk di kursi bagian depan.
“Bangsat lo!!”
Bugh! Bugh! Bugh!
Beberapa siswi perempuan memekik histeris. Wanidya menoleh ke arah sumber suara keributan, tepat di sisi kanannya. Ia melihat bagaimana brutalnya dua laki-laki yang merupakan siswa SMA SRAGEN itu sedang baku hantam dengan posisi saling tindih. Keributan ini membuat sang sopir menghentikan laju busnya. Membantu memisahkan kedua laki-laki itu, karena siswa lain tidak ada yang berani memisahkan.
Wanidya melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, berdecak kesal. Bisa-bisa mereka semua terlambat karena ulah kedua laki-laki ini. Tanpa pikir panjang gadis itu langsung berdiri tegak, membetulkan tali tas di pundaknya.
“Minggir.” tekan Wanidya kepada dua laki-laki itu, tiga termasuk sang sopir. Mereka langsung menyingkir, memberikan jalan. Salah satu dari siswa itu melemparkan tatapan tajam ke arahnya. Wanidya tak gentar, dia pun membalas dengan tatapan tak kalah tajam, seakan-akan menantang balik. Benar-benar menjijikan, yang seharusnya marah disini adalah dirinya bukan malah laki-laki itu. Selain mengganggu kenyamanan penumpang lain, mereka juga membuat perjalanan bus jadi terhambat.
Begitu turun dari bus tersebut, Wanidya kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah dengan jalan kaki. Letak SMA SRAGEN sudah tidak jauh lagi, hanya tinggal beberapa puluh meter di depan sana. Begitu merasa sudah berjalan terlalu jauh, ia menoleh ke belakang sejenak, bus itu tak kunjung berjalan.
Setibanya di gerbang masuk Wanidya bernafas lega, beruntung pagar belum ditutup. Netranya bergulir ke kanan lalu ke kiri sambil melangkah masuk. Tidak banyak yang berubah dari tempat ini, semua masih terlihat sama kecuali tempat parkir motor dibuat menjadi dua tingkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fearless
Short Story⚠️𝐃𝐢𝐬𝐜𝐥𝐚𝐢𝐦𝐞𝐫⚠️ 𝐒𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢 𝐡𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐢𝐟𝐚𝐭 𝐟𝐢𝐤𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐛𝐞𝐫𝐝𝐚𝐬𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐝𝐞 𝐬𝐚𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢, 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐧𝐢𝐚𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐥𝐚𝐠𝐢𝐚𝐭 𝐜�...