Seperti biasa, jangan lupa
tandai typo!Selamat Membaca.
****
Sepasang mata mengintai ke sebuah rumah mewah bercat golden, dari balik pagar yang menjulang tinggi, setinggi dua meter lebih. Melihat kondisi rumah sepi, memberikan sinyal bahwa situasi sudah aman, untuk laki-laki tadi.
Pagar yang setinggi hampir tiga meter itu dipanjatnya dengan mudah tanpa merasa kesulitan sedikit pun. Setelah kedua kakinya menampak di bawah, tangannya segera membuka kunci pagar dan membukanya sedikit lebar.
Laki-laki itu berjalan kearah motor yang terparkir manis diluar pagar rumah, lalu mendorong pelan-pelan motor tersebut sampai ke tempat garasi tanpa menghidupkan mesinnya, ia sedikit kesusahan karena ukuran motor tersebut lebih besar dibandingkan motor matic.
Selesai menaruh motor kesayangan ditempatnya, Candra── ya, sosok yang mengintip dan mengendap-endap dari tadi itu Candra. Dengan langkah yang masih mengendap-endap ia mendekat ke pintu rumah tersebut.
Dari balik jendela kaca, seseorang telah melihat semua kegiatan yang di lakukan Candra, semuanya diamati. Mulai dari Candra yang berusaha membuka kunci pintu pagar dengan memanjat pagar tinggi itu sampai dengan berjalan mengendap-endap layaknya seorang maling.
"Dasar pikuk," gumam Candra begitu mendapati pintu rumahnya tidak dikunci sama sekali. Dengan kaki melangkah masuk.
"Kok sepi banget ya. Biasanya enggak sampe segini," monolognya pada diri sendiri. Mengedarkan pandangan ke sisi rumah di lantai bawah yang gelap gulita dengan cahaya remang-remang dari sinar bulan yang menembus kaca jendela sambil mengusap tengkuk lehernya yang merinding. "Kayak ada yang liatin."
Meski seakan sadar ada yang sedang mengawasinya Candra tidak memperdulikannya, dengan melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.
"Dari mana kamu."
Sesampai di undakan tangga yang terakhir, intonasi suara Ayahnya── Wangsa, terdengar dari belakang punggung. Pria berkepala lima itu berdiri di samping jendela depan, dengan posisi menghadap langsung ke anak tunggalnya itu.
Candra meringis bercampur rasa takut dengan tatapan yang dilayangkan Wangsa. "Dari nongkrong sama teman-teman, Pa. Ada Bima juga kok di sana, jadi Papa enggak perlu takut." alibinya dengan menyebut salah satu nama teman kepercayaan ayahnya.
Wangsa Putra Januar, seorang pria berdarah Sunda dan Jogja. Ia memiliki satu orang putra ketika dengan istri pertamanya dulu── Miranti, namun sayangnya mereka berdua memutuskan untuk bercerai ketika Candra baru berusia lima tahun.
Miranti lebih memilih untuk kembali bersama dengan sang pujaan hatinya dulu semasa sekolah, sebelum ia bertemu dengan Wangsa. Wanita itu dengan tega meninggalkan Candra yang masih sangat butuh kasih sayang dan sosok seorang Ibu, hanya demi untuk kebahagiaannya semata bersama pria lain.
Wangsa membesarkan putranya seorang diri, melakukan peran ayah dan juga peran ibu, tentu bukanlah hal yang mudah. Tapi semua perjuangan Wangsa seperti sia-sia karena, Candra tubuh menjadi sosok yang uring-uringan, membuat masalah di sekolah, ikut balapan liar, pergi ke club malam padahal usianya terlalu dini untuk pergi ke tempat maksiat tersebut.
"Jangan bawa-bawa Bima, Papa tau Bima nggak lagi sama kamu," Wangsa sangat tahu Bima mempunyai kebiasaan tidur di bawah jam sembilan malam, anak itu tidak bisa tidur terlalu larut malam. Jadi mustahil. "Papa mau kamu jujur Candra. Habis dari mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fearless
Short Story⚠️𝐃𝐢𝐬𝐜𝐥𝐚𝐢𝐦𝐞𝐫⚠️ 𝐒𝐞𝐦𝐮𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢 𝐡𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐬𝐢𝐟𝐚𝐭 𝐟𝐢𝐤𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐭𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐛𝐞𝐫𝐝𝐚𝐬𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐝𝐞 𝐬𝐚𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢, 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐧𝐢𝐚𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐥𝐚𝐠𝐢𝐚𝐭 𝐜�...