Maya tetap menunduk, pandangannya terpaku ke tanah. "Obatnya," jawabnya singkat.
"Kamu menemukannya?" Eli terdengar kaget. "Gimana caranya?"
"Itu ada di rumah tadi," Maya menjelaskan singkat. "Ada sebuah catatan."
"Jadi kita tinggal ambil, kan?" Eli berkata dengan nada seakan semuanya mudah saja. Seharusnya memang begitu, tapi ada sesuatu yang berubah di pikiran Maya, sesuatu yang tak mudah dijelaskan.
"Ada apa?" tanya Eli, penasaran. "Kita kan harusnya segera ambil obatnya dan bawa ke kota."
"Tidak," kata Maya, meskipun dia tak bermaksud mengatakannya dengan lantang. Kalimat itu terlepas begitu saja.
"Apa maksudmu?" Nada suara Eli berubah, penuh kecemasan. "Kenapa tidak?"
Maya menghela napas berat. "Karena," katanya pelan, "ini nggak sesederhana itu."
"Tapi bisa jadi sederhana," Eli bersikeras. "Kita udah pernah menghadapi yang lebih buruk. Kalau kita kerja sama, pasti bisa."
"Kita udah pernah coba sebelumnya," kata Maya, meskipun pikirannya kini tertuju pada hal lain—bukan soal Kota Terbuang yang sunyi atau pasukan Victor yang mungkin masih berkeliaran. Dia memikirkan kedua orang tuanya, bagaimana mereka meninggal. "Nggak pernah ada yang mudah."
"Tapi ada harapan, mungkin ini obatnya," Eli berusaha meyakinkan.
"Mungkin," Maya mengakui, "tapi itu nggak akan mengubah segalanya."
"Kenapa nggak? Tentu saja bisa," Eli tetap yakin.
Maya menghentikan langkahnya dan menatap Eli dengan lelah. "Tidak," katanya, merasakan seolah seluruh berat dunia menekan pundaknya. "Tidak akan ada yang berubah. Kamu tetap akan kehilangan orang-orang yang kamu sayangi, dan hidup tetap akan sulit, tetap menyakitkan."
"Tapi kalau kita berhasil, kita bisa bikin semuanya jadi lebih baik," Eli berkata lagi, keyakinannya tak tergoyahkan. Maya tak ingin meruntuhkan harapan itu.
Ia menarik napas panjang. "Dengar, kita harus bergerak sekarang," ujarnya pelan. Mereka harus segera pergi dari tempat ini, jauh dari kota dan orang-orang Victor. Maya tidak punya tenaga lagi untuk menjelaskan semuanya pada Eli sekarang. Itu terlalu melelahkan, terlalu rumit.
Eli memandangnya dengan kecewa, namun akhirnya mengangguk dan mulai melangkah lagi. Maya mengikutinya dari belakang. Sepanjang perjalanan, dia bisa merasakan Eli terus melirik ke arahnya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut. Tapi Maya tetap diam, tak ingin mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.
Malam itu, mereka tidur bersembunyi di balik semak belukar, berdekatan untuk melawan dingin. Maya terbangun saat fajar menyingsing dan melihat sekeliling. Tanah tandus itu masih sama kosongnya seperti sebelumnya, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Dia berdiri perlahan, meregangkan tubuhnya yang kaku.
Beberapa menit kemudian, Eli terbangun. "Mau ke mana kita sekarang?" tanyanya sambil berdiri.
"Kita kembali ke kota," jawab Maya tanpa ragu.
"Tapi bagaimana dengan obatnya?"
Maya berpikir sejenak. "Kita ke kota dulu," jawabnya akhirnya. "Lalu kita putuskan langkah selanjutnya."
Eli mengangguk, meskipun jelas terlihat dia tidak puas dengan keputusan itu. Mereka mulai berjalan lagi. Kota itu sebenarnya tidak jauh, namun mereka harus berhati-hati, menghindari para penjaga Victor dan hewan-hewan buas yang berkeliaran. Perjalanan yang seharusnya singkat itu akhirnya memakan waktu hampir seharian. Ketika mereka tiba, matahari sudah hampir tenggelam di balik cakrawala.
Saat mereka mendekati gerbang kota, Eli tiba-tiba menarik lengan Maya, menghentikan langkahnya. "Kamu punya rencana?" bisiknya cepat, matanya penuh kekhawatiran.
Maya menatapnya dengan tatapan bingung. "Rencana apa?"
"Rencana untuk masuk ke kota," jawab Eli, suaranya rendah namun mendesak.
Maya memandang gerbang besar di depan mereka. Tertutup rapat, dijaga oleh dua penjaga bersenjata lengkap. Tak ada jalan untuk menyelinap masuk. Mereka harus melewati penjaga-penjaga itu, entah bagaimana caranya. "Biar aku yang urus," kata Maya dengan suara datar, penuh keyakinan. Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah maju, mendekati gerbang.
Penjaga-penjaga itu berdiri dengan waspada, senjata tersampir di bahu, mata mereka mengawasi setiap gerakan. Maya berhenti tepat di depan salah satu dari mereka, berusaha menampilkan sikap tenang, seolah tidak ada niat buruk di balik langkahnya. Sebenarnya, dalam benaknya ia tahu ini berisiko, tapi tak ada pilihan lain. Setelah beberapa saat yang tampak seperti selamanya, salah satu penjaga menatap Maya dengan ekspresi curiga.
"Apa yang kau lakukan di sini?" suaranya keras dan tegas.
"Aku baru kembali dari Kota Terbuang," Maya menjawab, suaranya dikendalikan sedemikian rupa agar terdengar biasa saja. "Kami dikirim untuk mengambil persediaan, tapi harus lari ketika salah satu anak buah Victor muncul."
Penjaga itu mengangkat alis, terkejut. "Anak buah Victor?" tanyanya ragu.
Maya mengangguk. "Ya, dia ada di luar sana, menjaga sesuatu. Kami tidak tahu apa, tapi kami terpaksa kabur."
Penjaga lainnya ikut campur, matanya menyipit. "Menjaga apa?"
Maya mengangkat bahu dengan sikap seolah tak peduli. "Aku tidak tahu. Aku hanya fokus menyelamatkan diri."
Kedua penjaga itu saling berpandangan, kemudian salah satunya mengangguk pelan. "Baiklah," katanya sambil bergerak ke samping, membuka jalan. "Tapi jangan sampai ada yang tahu kalau kami biarkan kalian lewat."
"Terima kasih," jawab Maya dengan nada syukur yang tulus, menarik Eli bersamanya melewati gerbang sebelum para penjaga berubah pikiran.
Setelah melewati halaman, mereka langsung masuk ke dalam sebuah bangunan yang tampak seperti tempat penampungan. Begitu berada di dalam, Maya segera merogoh sakunya, mengeluarkan selembar kertas yang sudah kusut. Ia merapikan kertas itu dengan hati-hati, menatapnya sejenak sebelum mulai membacanya dalam diam.
Eli, yang penasaran, mendekat. "Apa itu?"
"Catatan yang aku temukan," jawab Maya tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas itu.
Eli menatapnya penuh harap. "Jadi, apa isinya?"
Maya mengangkat kepalanya dan menatap Eli sejenak sebelum bertanya, "Kamu benar-benar ingin tahu?"
Eli mengangguk cepat. Maya menghela napas pelan, lalu mulai membaca lagi dengan suara pelan namun tegas.
YOU ARE READING
Last Night on Earth
Mystery / ThrillerDalam dunia yang dihancurkan oleh wabah mematikan, Maya dan Eli terjebak dalam pencarian putus asa untuk bertahan hidup. Saat mereka menjelajahi reruntuhan kota yang dulunya makmur, mereka harus menghindari kekuatan kejam Victor, seorang pemimpin ha...