11

1 0 0
                                    

Sebelum berangkat, Eli dan Maya kembali ke kamar dan mengemas peralatan mereka, lalu bergegas menuju pintu depan tempat penampungan. Tidak lama kemudian, mereka sudah dalam perjalanan menuju kota Victor.

Beberapa jam kemudian, saat senja mulai turun, mereka tiba di pinggiran kota. Maya memandang kota itu, berusaha memikirkan cara agar bisa masuk. Pintu gerbang utama bukan pilihan, yang berarti mereka harus menemukan jalan lain.

Eli melirik ke arahnya, seakan bisa membaca apa yang ada di pikirannya. "Kita lanjut?" tanyanya.

Maya mengangkat bahu. "Aku juga belum yakin," jawabnya. Pilihan mereka sangat terbatas, dengan penjagaan di gerbang dan tembok kota yang terlalu tinggi untuk dipanjat.

"Kita bisa coba memutar ke sisi lain kota," Eli menyarankan. "Itu yang akan kulakukan."

Maya mengerutkan kening. Dia tidak yakin apakah itu akan berhasil, tapi dia juga tidak punya ide yang lebih baik. "Oke," setujunya. "Kita coba."

Mereka bergerak ke arah samping kota, tetap berada dalam bayangan dan berusaha tidak menarik perhatian. Setibanya di sana, Maya mendekati tembok dan meletakkan tangannya di permukaan kasar itu, menengadah. Tingginya sekitar enam meter, tetapi ada celah-celah kecil yang bisa dijadikannya pijakan untuk memanjat.

Dia melirik ke arah Eli. "Aku akan memanjat dulu," bisiknya. "Kamu menyusul nanti."

Eli mengangguk, meskipun terlihat sedikit gugup. Maya tersenyum lembut kepadanya. "Tunggu sampai aku di atas sana," bisiknya lagi. "Baru kamu bisa naik."

Maya berbalik ke arah tembok dan mulai memanjat. Meski cukup sulit, dia berhasil mencapai puncak tembok dan melompatkan kakinya ke sisi lain. Setelah itu, tangan kecilnya meraih tangan Eli dan membantu menariknya ke atas.

Saat mereka berdua duduk di puncak tembok, Maya melihat ke dalam kota. Di bawah mereka, para penjaga sedang berpatroli, dan dia berpikir keras bagaimana cara menghindari mereka. Maya menatap Eli, seolah-olah berharap dia punya ide untuk mereka lakukan.

Eli mengintip ke bawah, melihat penjaga, lalu menatapnya lagi. "Kita harus melompat," bisiknya. "Aku nggak bisa mikir ada cara lain, selain ini."

Maya mengangguk, tahu Eli benar. Ia menarik napas dalam-dalam, berdiri dengan hati-hati di atas tembok, lalu melompat turun. Maya mendarat dengan posisi berjongkok, namun meski lompatannya tidak terlalu tinggi, kakinya tetap merasakan sedikit guncangan.

Maya melihat ke atas dan melambaikan tangan ke arah Eli. Tak lama kemudian, Eli melompat turun, dan Maya segera mengulurkan tangan untuk membantunya. Eli mendarat dengan desisan tertahan, namun tiba-tiba terdengar suara dari belakang mereka.

Maya berbalik dan melihat seorang penjaga berdiri tak jauh, wajahnya menganga terkejut.  Tanpa berpikir dua kali, Maya segera mencabut pisau dari pinggangnya dan berlari ke arah penjaga itu. Penjaga itu mencoba melawan, namun Maya bergerak terlalu cepat. Dalam sekejap, dia berhasil menjatuhkannya dengan satu tusukan cepat, lalu berbalik ke arah Eli.

Eli menatapnya, terkejut dan sedikit gemetar. "Kamu membunuhnya," katanya, suaranya hampir tak percaya.

Maya mengangguk pelan. "Apa aku punya pilihan lain?" tanyanya tanpa merasa bersalah. Penjaga itu pasti akan membunuh mereka juga jika punya kesempatan. "Ayo," katanya, sambil memasukkan pisau kembali ke sarungnya. "Kita harus pergi sebelum penjaga lain sadar kalau ada sesuatu yang salah."

Eli mengangguk sekali lagi, meski raut wajahnya masih tegang. Mereka segera berlari meninggalkan mayat penjaga itu, sambil berusaha sebisa mungkin untuk tetap tersembunyi. Perjalan mereka cukup mulus, hanya dibantu beberapa pukulan dari Eli untuk meruntuhkan hambatan kecil, setelah setengah jam mereka akhirnya tiba dengan selamat dan langsung masuk ke dalam gedung menuju ruangan Victor.

Last Night on EarthWhere stories live. Discover now