09

2 1 0
                                    

"Tapi kamu masih ingin mencoba, kan?" Suaranya terdengar putus asa.

"Aku ingin," jawab Maya perlahan, "tapi aku nggak yakin itu akan berhasil."

Eli terdiam sejenak. "Jadi, sekarang kita harus apa?"

Maya menarik napas panjang. Dia benci mengecewakan Eli, tapi dia tahu itu perlu dilakukan. "Kita tidur dulu," katanya. "Lalu besok, kita coba cari tahu langkah selanjutnya."

Eli mengangguk perlahan, lalu berbaring kembali. Maya ikut berbaring di sebelahnya, memperhatikan wajahnya. Tak lama kemudian, mata Eli tertutup, dan beberapa menit kemudian, suara napasnya mulai terdengar dalam dan teratur. Maya tetap terjaga, mendengarkan dengus napas Eli dan memikirkan apa yang harus dia lakukan.

Keesokan paginya, Eli bangun dengan tampak lebih segar. Dia menggerakkan tangannya, merenggangkan otot-otot, lalu berdiri sambil melirik sekeliling. "Kita perlu bicara soal kemarin," katanya.

"Aku tahu," jawab Maya, sambil duduk dan mengusap matanya. Dia masih merasa lelah.

Eli menghampiri dan duduk di sampingnya. "Aku mau kamu jelasin apa yang kamu maksud kemarin."

"Aku minta maaf kalau aku—"

"Bukan soal itu," potong Eli. "Kamu perlu jujur, apa sebenarnya yang kamu pikirkan."

"Aku cuma maksudkan, mungkin ini nggak akan berjalan sesuai keinginanmu," Maya menjawab pelan. "Itu saja."

"Tapi kamu bilang kamu menemukan catatan," Eli mengingatkan. "Kamu bilang kamu tahu di mana obat itu."

Maya menghela napas. Ini ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. "Aku berbohong soal itu," dia akhirnya mengaku. "Aku nggak benar-benar menemukan catatan apa pun. Aku mengarangnya."

"Kamu?" Eli tampak bingung.

"Aku cuma berusaha mengalihkan perhatianmu," jelas Maya. "Dari semua pertanyaan dan keraguanmu. Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi."

Eli berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Aku paham," katanya pelan.

Nada suaranya terdengar seperti menerima, tapi Maya tahu, jauh di dalam hati, Eli kecewa. Dia pasti benci kenyataan bahwa Maya telah berbohong. Dan Maya tak bisa menyalahkannya. Dia juga berharap bisa menarik kembali kebohongan itu, tapi kenyataannya, dia tak bisa. Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah mencoba melangkah ke depan.

"Jadi," Maya berkata setelah beberapa saat hening, "kamu mau ke mana sekarang? Kembali ke padang tandus?"

Eli mengangkat bahu, tampak bergumul dengan pikirannya. Maya berharap dia akan mengatakan sesuatu—apa saja—tapi yang dilakukan Eli hanyalah bangkit dan mulai mengenakan sepatunya.

"Kita masih punya makanan?" tanyanya begitu selesai.

"Masih ada beberapa batang daging kering," jawab Maya. "Tapi kita harus mencari lebih banyak."

"Baiklah." Eli berdiri dan berjalan menuju pintu. "Ayo," panggilnya. "Kita pergi sekarang."

Mereka berjalan melewati tempat penampungan, menuju dapur. Saat mereka bergerak, Maya bisa merasakan tatapan orang-orang di sekeliling mereka, bisik-bisik lirih tentang dirinya dan Eli. Maya berusaha mengabaikannya dan fokus pada tujuan mereka—mencari makanan—tapi tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apa yang sebenarnya mereka bisikkan. Dan mengapa mereka begitu tertarik padanya.

Begitu sampai di dapur, persediaan makanan sudah menipis, bahkan di gudang. Maya dan Eli hanya menemukan beberapa batang daging kering dan roti basi. Mereka duduk di salah satu meja dan mulai makan.

"Kita mau apa nanti," tanya Eli, "kalau makanannya habis?"

Maya mengunyah rotinya perlahan sebelum menjawab. "Kita akan kembali ke luar sana," katanya. "Ke padang tandus. Kita cari makanan dan persediaan." Ia berhenti sejenak, berpikir tentang kemungkinan lain. "Atau mungkin kita akan menemukan sesuatu yang lain."

"Apa maksudmu?" tanya Eli, penasaran.

"Mungkin Victor menyembunyikan sesuatu," jawab Maya, matanya menyipit, "sesuatu yang bisa memberinya kekuatan lebih dari yang dia punya sekarang. Mungkin ada cara untuk merebut itu darinya."

Eli terdiam beberapa saat, mencerna apa yang dikatakan Maya. Lalu dia menoleh, dan Maya bisa melihat kesadaran yang perlahan tumbuh di matanya.

"Kamu ingin menghentikan Victor, bukan?" Eli akhirnya berkata.

Maya memutar otak, mencoba mencari cara untuk menjawab Eli. Dia tidak ingin berbohong lagi, tapi juga merasa belum saatnya mengatakan semua yang sebenarnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil jalan tengah.

"Kita lihat nanti," jawabnya dengan hati-hati. "Aku ingin bicara dengan Zara dulu soal ini."

Eli mengangguk, seakan mengerti. "Baik," katanya. "Asal kamu nggak bohong lagi."

Maya mengernyit. "Aku janji nggak akan bohong lagi," ucapnya dengan sungguh-sungguh.

"Aku tahu kamu janji," kata Eli dengan tenang. "Dan aku harap kamu sadar, aku nggak akan pernah bohong padamu."

Ucapan Eli membuat Maya merasa bersalah. Dia teringat kebohongan yang pernah dia ucapkan padanya. Eli layak mendapatkan yang lebih baik. Dia berharap suatu hari nanti, Eli bisa memaafkannya. "Eli—" Maya mulai berbicara.

"Jangan," potong Eli cepat. "Aku paham, dan aku tahu apa yang terjadi. Lebih baik kita lupakan saja."

Suara Eli tenang, seolah-olah dia sudah memaafkan segalanya tanpa perlu banyak ucapan kata. Itu membuat Maya merasa lega, namun sekaligus bersalah. Eli, dengan caranya yang tenang, selalu tahu bagaimana menjaga perasaan, bahkan saat dia sendiri merasa tak sepenuhnya bisa dipercaya.

Maya mengangguk pelan, lalu menggigit lagi rotinya. 

Last Night on EarthWhere stories live. Discover now