Bab 3. Kenangan Pahit

41 12 7
                                    

Zayan sama sekali tak menghiraukannya. Kini, ia pun telah satu jam lamanya berada di rumah.

"Alhamdulillah, kenyang juga," gumamnya.

Tok ... tok ... tok ....

Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar.

Zayan terdiam dan hanya sebatas mengernyitkan alisnya. "Semoga yang bukan gue inginkan, nggak akan pernah terjadi," batinnya.

Tok ... tok ... tok ....

"Sebentar," sahutnya.

Tak lama setelahnya, kini Zayan pun telah tepat berada di depan pintu rumahnya.

Creck.

Kini pintu itu telah ia buka.

Deg!

Zayan menelan saliva. "B-Bella?"

Jika telah ada Bella di sana, pastinya anak kecil itu juga ada di sana. Itulah anggapannya.

Semulanya, Zayan belum melihat siapa pun selain Bella. Namun tak lama kemudian ....

"Ini," -gadis kecil itu mengulurkan sesuatu yang ingin ia berikan- "aku mau kasih sesuatu untuk Ayah," ucap gadis kecil itu.

Sebungkus cokelat kesukaan Zayan. Ia dapatkan itu dari Bella.

"Lo suka itu, kan?" Bella.

Arah pandang Zayan lekas tertuju ke arah Bella.

Sebenarnya, Zayan telah terlanjur merasa geram melihat kehadiran gadis kecil itu. Namun apalah dayanya? Ia juga merasa bingung dengan ini semua.

"Kenapa lo cuma diam? Lo cuma mau ngelihatin gue gitu aja? Cokelat pemberiannya nggak mau lo terima?" ucap Bella padanya.

Zayan menurunkan arah pandangnya. "Gue lagi banyak masalah. Jadi, please, tolong bawa dia ke tempat yang lain." Dengan masih tertunduk, Zayan lekas berbalik arah--hendak kembali memasuki rumahnya.

"Zayan!" Bella memanggilnya.

"Apa lagi?" Zayan menyahutinya tanpa berbalik arah.

"Tolong terima dia demi gue. Apa pun yang terjadi, gue juga siap ngebantu lo," ucap Bella.

Tersentak, hatinya ikut tersentuh. Zayan pun turut kembali menoleh ke arah mereka.

"Kenapa harus gue?" Zayan.

"Gue memang nggak tahu siapa 'ni anak, tapi entah kenapa, gue ngerasa nggak bisa ngebiarin dia sendirian di jalanan. Awalnya, gue mau angkat dia jadi adiknya gue, dan ngurus dia sendirian di kost, tapi sayangnya, dia malah tetap ngotot mau tinggal sama lo." Bella.

Zayan terlihat melihat ke arah gadis kecil itu.

"Lo yakin, kalau dia nggak bakal menimbulkan masalah? Gimana kalau dia ...?" ucapannya terhenti. Apa yang ingin ditanyakan oleh hatinya, tiba-tiba saja tak lagi mampu ia sampaikan.

"Lo bisa hubungi gue. Apa pun itu, Gue siap tanggung jawab." Bella.

Bella terlihat kukuh mempertahankan tekadnya.

"Lo sebegitu yakinnya? Tapi gue belum kerja Bel, mau gue kasih makan apa?" Zayan.

Tanpa berpikir panjang, Bella pun langsung mengeluarkan sejumlah uang yang telah ia siapkan sedari tadi.

"Ini ... lo pakai aja uang gue, buat nge-biaya-in dia selama seminggu." Bella.

"Lo benaran yakin? Seyakin itu?" Heran Zayan.

Bella mengangguk.

"Kita nggak tahu, bakalan ada kebaikan apa, setelah kita nolong anak ini. Gue memang belum tahu, siapa orang tua dari anak ini, entah itu emang lo atau bukan, tapi yang pasti, dia terlalu kecil untuk bisa hidup mandiri di luaran sana. Gue cuma nggak mau, kalau dia bakal jadi korban penculikan. Gue juga nggak rela, kalau anak selucu dia malah akan dijual sama orang-orang jahat di luaran sana," tutur Bella--penuh perhatian.

Ayah? Gue Masih SMA! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang