"Zayan! Kakak butuh bantuan, 'ni. Kamu bantu Kakak, dong." Untuk yang pertama kalinya, nadanya terdengar lembut.
"Zayan?!" Kalau udah yang kedua begini, nadanya rada sedikit lebih tegas.
"Zayaan!!!" Nah, yang ini 'ni. Kalau udah yang ketiga begini, biasanya udah masuk tahap kategori teriakan maut.
Masih belum nyaut juga? Nambah lagi dong ketinggian oktaf suaranya. "ZAYAAAN!!!"
Inilah tahapan dari teriakan maut dari salah seorang Kak Mala di kala ia harus mengurus putrinya kecilnya sendirian--tanpa kehadiran sang suami.
Seperti biasanya, jika ada yang sedang menganggu suasana hatinya, teriakannya pun lekas memekakkan telinga siapa pun yang turut berada di sekitarnya.
"ZAYAAAAN!!!" Teriakan ini masih saja berlanjut. Biasanya hal ini bertahan, sampai sang pemilik nama akan benar-benar muncul di hadapannya.
"Astagfirullah, Kak Mala! Kakak bisa nggak sih, sehari aja nggak usah berisik?!" Zayan.
"Gimana Kakak nggak berisik, coba! Kamu Kakak panggil dari tadi ke mana aja, ha?" Kak Mala.
"Duh, Kak ... memangnya ada apa sih?" Zayan.
"Pakai nanya! Kamu benaran nggak dengar kata Kakak tadi? Terus, kamu nggak lihat Kakak lagi apa sekarang?" Kak Mala.
Setelah Kak Mala mengatakan kalimatnya, lantas Zayan pun turut menurunkan arah pandangnya.
"Astagfirullah, itu kenapa bisa ngompol di situ?" Zayan.
"Makanya itu, Kakak panggil kamu buat pegangin dia." Kak Mala.
"Pegangin, Zahra?" Zayan.
"Ya iyalah, jadi pegangin siapa lagi? Emangnya kamu mau jemur permadani pesing ini ke luar?" Kak Mala.
"Y-ya nggak, dong. Masa mau." Zayan.
Mata Kak Mala mendelik. "Ya udah, 'ni ... kamu angkat Zahra. Kalau bisa kamu mandikan dia lagi."
"Ya Allah, ribet amat. Perasaan dulu, Bunda nggak serempong ini ngurus Rayan. Dulu, Bunda kalem-kalem aja kelihatannya." Zayan.
Rayan adalah adik mereka.
"Kamu ngerendahin, Kakak? Iya? Ngatain Kakak nggak jago ngurus bayi? Gitu?!" Suara Kak Mala semakin meninggi kali ini.
"Nggak, nggak. Nggak gitu, kok. Maksud aku nggak gitu, Kak. Ya, tap ...." Zayan.
"Ya, apa? Ha? Ya, apa? Hmm?" putus Kak Mala.
"Sabar, Kak. Banyak-banyak ngucap. Sebentar lagi mau masuk bulan puasa, lho." Zayan.
"Iya tahu! Lagian kamu, selalu aja bikin Kakak emosi. Turutin aja apa kata Kakak, tanpa bantahan sedikit pun!" Kak Mala.
"Iya, iya, maaf." Zayan.
"Nggak tahu apa, jadi orang tua baru itu susah! Apalagi jadi ibu!" celetuknya.
"Iya, Kak. Iya, maaf." Zayan.
"Mcmm! Malah Mas Haris nggak pulang-pulang lagi! Awas aja 'tu kalau sampai dia cari cewek di sana. Apalagi kalau sampai dia pulang tanpa bawa uang!" Kak Mala terus saja mengoceh.
Lalu kini, mau tak mau, Zayan memang harus menggendong ponakannya itu. Ia mendekatinya, dan aroma tak sedap itu pun turut tercium olehnya.
"Ya ampun, apa bedanya Zahra sama 'ni permadani? Meskipun Zahra udah mandi, tapi tetap aja aroma bau pesingnya masih kecium." Zayan.
Dua detik kemudian. Zayan melihat ke bawah. "Eitsss, permadaninya belum Kak Mala bawa, ya? Terus, dia pergi keluar buat apa?"
Saat itu, Zahra memang belum ia angkat, melainkan ia masih menyimpuhkan kedua lututnya--dengan niatan hendak menggendong Zahra.
Ya, itu benar, nyatanya tak hanya Zayan yang belum juga melaksanakan pembagian tugas itu, melainkan Kak Mala pun sama. Kak Mala telah pergi begitu saja, tanpa membawa permadani yang tadi.
Mungkin, Kak Mala lupa kali, ya--karena sempat adu mulut sama Zayan. Tak hanya Kak Mala, bahkan Zayan pun turut kehilangan fokusnya.
"ZAYAAAN!" Teriakan itu pun kembali terdengar oleh sang pemilik nama.
"Iya, Kak?" Sebab hal ini, Zayan pun lekas berjalan menuju pintu utama--di mana Kak Malah sedang berada.
"Bawa permadaninya ke sini!" ucap Kak Mala, setelah Zayan sampai di hadapannya.
"Kakak gimana, sih?! Katanya aku di suruh angkat Zahra, tapi kenapa malah di suruh angkat permadani-nya juga?" Zayan.
"Buktinya mana? Kakak nggak ada lihat 'tu batang hidungnya Zahra. Kamu selipkan anak Kakak di mana? Di saku celana kamu? Iya?" sindir Kak Mala.
Sebenarnya, Kak Mala hanya mengelak pikun--akibat rasa emosinya yang tadi. Dan kebetulan pula, Zayan memang belum menggendong Zahra hingga detik ini. Lantas inilah alasannya, Kak Mala bisa memasang senjata lontaran kata-katanya, untuk bisa terhindar dari rasa malu.
Zayan terlihat mengernyitkan alisnya. "Kalau gitu, memangnya Kakak selipkan permadani-nya di mana? Di dalam jilbab-nya Kakak? Apa jangan-jangan ... ada di selipan ketiaknya Kakak, ya?" sindirnya.
"Hmm?" -Kak Mala terlihat kikuk- "bukan gitu, tapi maksud Kakak ... mmm ... maksud Kakak itu ... itu ...."
"Itu apa, Kak?" putus Zayan.
"Udahlah, nggak perlu dibahas lagi. Lagian nggak penting juga," -seketika raut wajah Kak Mala berubah. Kini ekspresinya terlihat jauh lebih ramah- "kalau gini terus, kapan bisa kelarnya? Udah cepat kamu bawa Zahra, kamu gendong dia sekarang."
"Iya, iya," -balasnya--terlihat pasrah- "ck, giliran udah salah aja pandai amat ngelesnya, Kak Mala ... Kak Mala," gumam Zayan setelahnya.
"Kamu bicara apa?" tanya Kak Mala--terlihat kembali emosi. Ya, meskipun ia hanya mendengarnya dengan sekilas dan terkesan samar, tapi Kak Mala paham, pastinya adiknya itu sedang mengata-ngatainya.
"Nggak ada, Kak. Bukan apa-apa. Kata Kakak nggak perlu bahas yang nggak penting, kan? Nah, kebetulan yang tadi itu juga bukan hal yang penting, Kak. Jadi nggak perlu dibahas." Respons Zayan--kembali menyerang Kak Mala dengan balasan ucapannya ini.
Senjata makan tuan. Inilah yang selalu Kak Mala rasakan.
Lalu kemudian, keduanya pun kembali menghampiri Zahra, dan turut bergegas melakukan kesepakatan pembagian tugas mereka dengan segera.
Kini, Zahra yang bau pesing pun telah digendong oleh Zayan. Sementara Kak Mala, ia pun telah kembali berjalan keluar dengan membawa permadani yang tadi.
***
Kak Mala memang belum berpengalaman dalam mengurus anak, dan Zahra adalah anak pertamanya. Sikapnya yang terkesan pemarah pun, bukan merupakan tipikal aslinya.
Ya, semuanya berubah, semenjak suaminya pergi keluar kota. Terlebih lagi dalam waktu belakangan ini, ia sempat mendengar isu perselingkuhan suaminya, dan hal inilah yang telah merenggut kesabarannya sebagai seorang ibu.
Namun meskipun demikian, Kak Mala tetaplah sosok seorang ibu muda yang sangat menyayangi putrinya. Tentu saja demikian, mana ada seorang ibu yang tega bertindak seenaknya pada anaknya, terlagi ini adalah pengalaman pertamanya menjadi seorang ibu.
Kini, semuanya telah selesai mereka lakukan. Bahkan Zahra pun telah wangi ditangannya Zayan dan Kak Mala.
"Untung Mama masih punya Om Zayan sama bunda-nya Mama, kalau aja nggak ada mereka, gimana Mama bisa ngatasi semuanya? Zahra jangan nakal-nakal, ya. Anak Mama harus tumbuh jadi anak yang baik, oke," ucap Kak Mala di hadapan putrinya.
Di sisi lainnya, masih ada Zayan yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya Kak Mala.
"Gue tahu kalau jadi orang tua itu sulit, dan karena itulah kenapa, gue masih nolak untuk yang namanya jatuh cinta. Bahkan kalau bisa, gue nggak bakalan nikah sama siapa pun. Gue juga nggak sanggup ngurus bayi. Kena ompol, harus mandiin dia, sediakan susu, belum lagi soal poop-nya.
"Duh, nggak kebayang kalau tiap hari gue harus lakuin itu. Sedangkan tadi aja gue udah angkat tangan. Besok-besok, mendingan gue jalan-jalan aja keluar. Terus Gue pulang larut malam, biar Kak Mala nggak nyuruh-nyuruh gue lagi," gumam Zayan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah? Gue Masih SMA!
Ficção AdolescenteIsu pelik telah berhasil mempersatukan mereka. Zayan yang dulunya anti dengan urusan cinta malah harus dipertemukan dengan gadis kecil bawel yang terus saja merepotkannya. Entah dari mana asal dari gadis kecil itu, tapi semenjak bertemu dengannya...